Sabtu, 27 Agustus 2011

TAHAP-TAHAPAN UPACARA SAUR MATUA


Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan .

Saur matua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang meninggal sari matua. Kalaupun suhut membuat acara adatsempurna sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam hal kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara harus melalui fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalui oleh setiap yang melaksanakannya.

Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut:

1. Sebelum Upacara di Mulai

Dalam kehidupan ini, setiap manusia dalam suatu kebudayaan selalu berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi dunia ini dalam jangka waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mencapai keinginan tersebut adalah di luar jangkauan manusia,karena keterbatasan, kemampuan dan akal pikiran yang dimiliki oleh manusia. Selain itu, setiap manusia juga sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah ditentukan batas akhir kehidupannya. Batas akhir kehidupan manusia ini (mati) dapat terjadi dikarenakan berbagai hal,misalnya karena penyakit yang diderita dan tidak dapat disembuhkan lagi kecelakaan dan sebab-sebab lain yang tidak dapat diketahui secara pasti, maupun disebabkan penyakit.

Pada masyarakat Batak Toba, bila ada orangtua yang menderita penyakit yang sulit untuk disembuhkan, maka pada keturunanya beserta sanak famili biasanya melakukan acara adat khusus baginya, yang disebut dengan Manulangi (memberi makan). Sebelum diadakan acara manulangi ini, maka pada keturunannya beserta sanak famili lebih dahulu harus mengadakan musyawarah untuk menentukan berbagai persyaratan, seperti menentukan hari pelaksanaan adat panulangion itu, jenis ternak yang akan dipotong, dan jumlahnya serta biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan tersebut. Sesuai dengan hari yang sudah ditentukan, berkumpullah semua keturunan dan sanak famili di rumah orangtua tersebut dan dipotonglah seekor ternak babi untuk kemudian dimasak lagi dengan baik sebagai makanan yang akan disuguhkan untuk dimakan bersama-sama. Pada waktu itu juga turut diundang hula-hula dari suhut, dongan tubu, dan natua-tua ni huta (orang yang dituakan di kampung tersebut).

Kemudian acara panulangion dimulai dengan sepiring makanan yang terdiri dari sepiring nasi dan lauk yang sudah dipersiapkan, diberikan kepada orangtua tersebut oleh anak sulugnya. Pada waktu Eanulangi, si anak tersebut menyatakan kepada orangtuanya bahwa mereka sebenarnya khawatir melihat penyakitnya. Maka sebelum tiba waktunya, ia berharap agar orangtuanya dapat merestui semua keturunananya hingga beroleh umur yang panjang, murah rezeki dan tercapai kesatuan yang lebih mantap. Ia juga mendoakan agar orangtuanya dapat lekas sembuh. Setelah anaknya yang sulung selesai memberikan makan, maka dilanjutkan oleh adik-adiknya sampai kepada yang bungsu beserta cucu-cucunya. Sambil disuguhi makanan, semua keturunannya direstui dan diberi nasehat-nasehat. Pada waktu itu ada juga orangtua yang membagi harta warisannya walaupun belum resmi berlaku.

Setelah selesai memberi makan, maka selanjutnya keturunan dari orangtua itu harus manulangi hula-hulanya dengan makanan agar hula-hulanya juga memberkati mereka. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan bersama-sama. Sambil makan, salah seorang dari pihak boru (suhut) memotong haliang (leher babi) dan dibagi-bagikan kepada hadirin. Setelah selesai makan, diadakanlah pembagian”jambar (suku-suku daging). Gaor bontar (kepala baglan atas sebelah kiri untuk boru (anak perempuan), Osang (mulut bagian bawah) untuk hula-hula, Hasatan (ekor) untuk keluarga suhut, soit (perut bagian tengah) untuk dongan sabutuha (teman semarga) dan jambar (potongan daging-daging) untuk semua yang hadir). Setelah pembagian jambar maka mulailah kata-kata sambutan yang pertama oleh anak Sulung dari orangtua ini dilanjutkan dari pihak boru, dongan sabutuha, dongan sahuta, dan terakhir dari hula-hula.

Setelah selesai kata mangampui, maka acarapun selesai dan diadakanlah doa penutup. Setelah acara panulangion itu selesai, maka pada hari berikutnya pihak hula-hula pergi menjenguk orangtua tadi dengan membawa dengke (ikan) dan sehelai ulos (kain adat batak) yang disebut ulos mangalohon ulos naganjang (memberikan kain adat). Ketika hula-hula menyampaikan makanan itu kepada orangtua yang sakit, disitulah merka memberikan ulos naganjang kepada orangtua itu dengan meletakkannya di atas pundak (bahu) orangtua tersebut. Tujuan dari pemberian ulos dan makanan ini adalah supaya orangtua tersebut cepat sembuh, berumur panjang dan dapat membimbing semua keturunannya hingga selamat dan sejahtera di hari-hari mendatang.

Setelah pemberian ikan dan ulos itu maka pihak boru brdoa dan menyuguhkan daging lengkap dengan suku-sukunya kepada pihak hula-hula. Pada waktu yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, akhirnya orangtua yang gaur matua itu meninggal dunia, maka semua keluarga menangis dan ada yang meratap sebagai pertanda bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Sesudah mayat tersebut dibersihkan maka dikenakan pakaian yang rapi dan diselimuti dengan kain batak (ulos). selanjutnya dibaringkan di ruang tengah yang kakinya mengarah ke jabu (bona rumah suhut). Pada saat yang bersamaan, pihak laki-laki baik dari keturunan orangtua yang meninggal maupun sanak saudara berkumpul di rumah duka dan membicarakan bagaimana upacara yang akan dilaksanakan kepada orangtua yang sudah saur matua itu. Dari musyawarah keluarga akan diperoleh hasil-hasil dari setiap hal yang dibicarakan. Hasil-hasil ini dicatat oleh para suhut untuk kemudian untuk dipersiapkan ke musyawarah umum. penentuan hari untuk musyawarah umum ini juga sudah ditentukan. Dan mulailah dihubungi pihak famili dan mengundang pihak hula-hula, boru, dongan tubu. raja adat, parsuhuton supaya hadir dalam musyawarah umum (Mangarapot). Sesudah acara mangarapot selesai, maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak hasuhuton. Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang (Manggokkon hula-hula, boru, dongan sabutuha (yang terdiri dari ternan semarga, teman sahuta, teman satu kampung) serta sanak saudara yang ada di rantau. Pihak suhut lainnya ada yang memesan peti mayat, membeli dan mempersiapkan beberapa ekor ternak (kerbau atau babi atau yang lainnya) sebagai makanan pesta atau untuk borotan.

Mereka yang bekerja pada saat upacara adalah pihak boru yang disebut Parhobas. Dan sebagian dari pihak suhut mempersiapkan pakaian adat untuk keturunan orangtua yang meninggal saur matua itu, yaitu semua anak laki-lakinya, cucu lakilaki dari yang pertama (sulung) dan cucu laki-laki dari anaknya perempuan.Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang diselempangkan di atas bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala. Pihak boru lainnya pergi mengundang pargonsi dengan memberikan napuran tiar (sirih) yang diletakkan di atas sebuah piring beserta dengan uang honor dari pargonsi selama mereka memainkan gondang sabangunan dalam upacara saur matua. pemberian napuran tiar ini menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar pargonsi bersedia menerima undangan tersebut dan tidak menerima undangan lain pada waktu yang bersamaan.

2. Acara Pelaksanaan Upacara Kematian Saur Matua

Setelah keperluan upacara selesai dipersiapkan barulah upacara kematian gaur matua ini dapat dimulai. Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini terbagi atas dua bagian yaitu :

  • Upacara di jabu (di dalam rumah) termasuk di dalamnya upacara di jabu menuju maralaman (upacara di rumah menuju ke halaman ).

  • Upacara maralaman (di halaman) Kedua bentuk upacara inilah yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba sebelum mengantarkan jenazah ke liang kubur.

Upacara di jabu (di dalam rumah)

Pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar orangtua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan duduk , di sebelah kanan tepat di samping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil. Anak perempuan dari orangtua yang meninggal, duduk di sebelah kiri dari peti mayat. Sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk di belakang atau di depan orangtua meeka masing-masing. Dan semua unsur dari dalihan natolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan ulos.

Upacara di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari (sekitar jam 10.00 Wib) oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur dalihan natolu mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur dalihan natolu sedang berlangsung, diantara keturunan orangtua yang meninggal masih ada yang menangis. Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak suhut kepada mereka. Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan lebih dahulu yaitu di bagian atas rumah (bonggar). Kemudian pargonsi disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah kiri ruang rumah yang beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para pargonsi dengan memberikan sepiring makanan yang berisi ikan (dengke) Batak, sagu-sagu, nasi, rudang, merata atau beras yang ditumbuk dan disertai dengan napuran tiar (sirih).

Setelah acara makan bersama para pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-masing. Umumnya semua pemain duduk menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk istirahat. Dan pada malam hari tiba, pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau gondang elek-elek, yaitu gondang yang memeberitahukan danmengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama.

Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saur matua. Dan pada saat gondang tersebut berbunyi, pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan ulos dan topi adat karena sebentar lagi kegiatan margondang saur matua akan dimulai. Kemudian diaturlah posisi masing-masing unsur Dalihan Natolu. Pihak suhut berdiri di sebelah kanan yang meninggal, boru disebelah kiri yang meninggal dan hula-hula berdiri di depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau isteri yang meninggal maka mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama dengan suhut hanya tapi mereka paling depan.

a. Kemudian kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria). Semua unsur Dalihan Natolu berdiri di tempatnya masingmasing. pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan.

b. Gondang ke dua yaitu gondang yang indah dan baik (tanpa ada menyebutkan nama gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka semua menari.

c. Gondang Liat-liat, para pengurus gereja menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja.

d. Gondang Simba-simba maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut.

e. Gondang yang terakhir, hasututon meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan rnereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali.

Kemudian masing-masing unsur dari Dalihan Natolu meminta gondang kepada pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada pargonsi tetapi yang memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun uang tersebut adalah dari pihak hula-hula atau dongan sabutuha. Maksud dari pemberian uang itu adalah sebagai penghormatan kepada pargonsi dan untuk memberi semangat kepada pargonsi dalam memainkan gondang sabangunan.

Jika upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan pada malam-malam hari tersebut diisi dengan menotor semua unsur Dalihan Na Tolu. Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa rnasuk kedalam rumah dan mayat dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu dengan dongan sabutuha. Tapi dibeberapa daerah Batak Toba, yang memasukkan mayat ke dalam peti adalah dongan sabutuha saja.

Kemudian dengan hati-hati sekali mayat dimasukkan ke dalam peti dan diselimuti dengan ulos sibolang. posisi peti diletakkan sarna dengan posisi mayat sebelumnya. Maka aktivitas selanjutnya adalah pemberian ulos tujung, ulus sampe, ulus panggabei.

Yang pertama sekali memberikan ulos adalah hula-hula yaitu ulos tujung sejenis ulos sibolang kepada yang ditinggalkan (janda atau duda) disertai isak tangis baik dari pihak suhut maupun hula-hula sendiri. Pemberian ulos bermakna suatu pengakuan resmi dari kedudukan seorang yang telah menjadi janda atau duda dan berada dalam suatu keadaan duka yang terberat dalam hidup seseorang ditinggalkan oleh teman sehidup semati, sekaligus pernyataan turut berduka cita yang sedalamdalamnya dari pihak hula-hula. Dan ulos itu hanya diletakkan diatas bahu dan tidak diatas kepala. Ulos itu disebut ulos sampe atau ulos tali-tali. Dan pada waktu pemberian ulos sampe-sampe itu semua anak keturunan yang meninggal berdiri di sebelah kanan dan golongan boru di sebelah kiri daeri peti mayat.

Setelah ulos tujung diberikan, kemudian tulang dari yang meninggal memberikan ulos saput (sejenis ulos ragihotang atau ragidup), yang diletakkan pada mayat dengan digerbangkan (diherbangkan) diatas badannya. Dan bona tulang atau bona ni ari memberikan ulos sapot tetapi tidak langsung diletakkan di atas badan yang meninggal tetapi digerbangkan diatas mayat peti saja. Maksud dari pemberian ulos ini adalah menunjukkan hubungan yang baik dan akrab antara tulang dengan bere (kemenakannya).

Setelah hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada suhut, maka sekarang giliran pihak suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai pengganti dari ulos kepada semua pihak boru. pengganti dari ulos ini dapat diberikan sejumlah uang.

Kemudian aktivitas selanjutnya setelah pemberian ulos atau uang kepada boru adalah kegiatan margondang, dimulai dari pihak suhut, dongan sabutuha, boru dan ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang sabungan dan mereka sesuka hati meminta jenis gondang yang akan ditarikan. Sesudah semua rombongan selesai menari, maka semua hadirin diundang untuk makan bersama. Sehari sebelumnya peti mayat dibawa ke halaman rumah orangtua yang saur matua tersebut, diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan rada sore hari.

Adat ini menunjukkan aktivitas memberi makan (sepiring nasi beserta lauknya) kepada orangtua yang saur matua dan kepada semua sanak famili. Setelah pembagian harta warisan selesai dilaksanakan,lalu semua unsur Dalihan na Tolu kembali menari. Mulai dari pihak suhut, hasuhutan yang menari kemudian dongan sabutuha, boru, hula-hula dan ale-ale. Acara ini berlangsung sampai selesai ( pagi hari ).

Upacara di jabu menuju maralaman

Keesokan harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah bersiapsiap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu menuju maralaman. Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00 Wib). Anak laki-laki berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-hula bersama pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan pakaian resmi (jubah).

Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton juga dongan sabutuha ke halaman. peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di depannya diletakkan palang salib kristen yang bertuliskan nama orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.

Upacara Maralaman (di halaman rumah)

Upacara maralaman adalah upacara teakhir sebelum penguburan mayat yang gaur matua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang gaur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke kuburan (disebut Partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di dalam ruah. pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka.

Semuanya mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua posisi ini mengelilingi kayu borotan yang ada di tengahtengah halaman rumah. Sedangkan peti mayat diletakkan di sebelah kanan rumah duka dan agak jauh dari tiang kayu borotan Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika di dalam rumah. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada upacara maralaman mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.

Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini dengan bernyanyi lebih dahulu, lalu pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan dari pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan terakhir doa penutup. Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu Gondang (tanpa menyebut nama gondangnya) , yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu Gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari.

Setelah sitolu Gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi borotan (yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati semua boru dan suhut.

Kemudian pengurus gereja meminta gondang Marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Natolu lainnya satu persatu dan memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada pargonsi gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsur : Dalihan Na Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.

Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang Mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari mengelilingi kuda sebanyak 3 kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang Mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru.Sedangkan boru memegang wajah suhut.

Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang Mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang Mangaliat, dengan memberikan ‘beras si pir ni tondi’ kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang. Lagi giliran pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau liang, mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong.

Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hulahula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak ale-ale yang mangaliat, juga memberikan beras atau uang. Dan kegiatan gondang ini diakhiri dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang Hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.

Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan. Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus gereja, karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan boru dan dong an sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar ke rumah duka.

3. Acara Sesudah Upacara Kematian.

Sesampainya pihak suhut , hasuhutan, boru, dongan sabutuha, hula-hula di rumah duka, maka acara selanjutnya adalah makan bersama. Pada saat itulah kuda yang diborotkan tadi sudah dapat dilepaskan dan ternak (babi) yang khusus untuk makanan pesta atau upacara yang dibagikan kepada semua yang hadir. Pembagian jambar ini dipimpin langsung oleh pengetua adat. Tetapi terdapat berbagai variasi pada beberapa tempat yang ada pada masyarakat batak toba. Salah satu uraian yang diberikan dalam pembagian jambar ini adalah sebagai berikut:

  • Kepala untuk tulang

  • Telur untuk pangoli

  • Somba-somba untuk bona tulang

  • satu tulang paha belakang untuk bona ni ari

  • Satu tulang belakang lainnya untuk parbonaan

  • Leher dan sekerat daging untuk boru

Setelah pembagian jambar ini selesai dilaksanakan maka kepada setiap hulahula yang memberikan ulos karena meninggal saur matua orang tua ini, akan diberikan piso yang disebut “pasahatkhon piso-piso”, yaitu menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut kedudukan masing-masing dan keadaan.

Bilamana seorang ibu yang meninggal saur matua maka diadakan mangungkap hombung (buha hombung), yang dilakukan oleh hula-hula dari ibu yang meninggal, biasanya dijalankan oleh amana posona (anak dari ito atau abang adik yang meninggal). Buha Hombung artinya membuka simpanan dari ibu yang meninggal. Hombung ialah suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana seorang ibu biasanya menyimpan harta keluarga ; pusaka, perhiasan, emas dan uang.

Harta kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu dari simpanan “borunya” setelah selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup oleh pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai upacara kematian saur matua, hula-hula datang untuk mangapuli (memberikan penghiburan) kepada keluarga dari orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan berupa ikan mas. Yang bekerja menyedikan keperluan acara adalah pihak boru.

Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, kata-kata penghiburan setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini selesai, maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua. Latar belakang dari pelaksanaan upacara kematian saur matua ini adalah karena faktor adat, yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua yang meninggal tersebut. Pelaksanaan upacara ini juga diwujudkan sebagai penghormatan kepada orang tua yang meninggal, dengan harapan agar orang tua tersebut dapat menghormati kelangsungan hidup dari para keturunannya yang sejahtera dan damai. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia yang masih hidup dengan para kerabatnya yang sudah meninggal masih ada hubungan ini juga menentukan hidup manusia itu di dunia dan di akhirat.

Sebagai salah satu bentuk aktivitas adat , maka pelaksanaan upacara ini tidak terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur Dalihan Natolu yang memainkan peranan berupa hak dan kewajiban mereka. Maka dalihan natolu inilah yang mengatur peranan tersebut sehingga prilaku setiap unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari tidak menyimpang dari adat yang sudah ada.

Sabtu, 20 Agustus 2011

BEDA NI HOLONG SEJATI TU HOLONG ADAT



B
oasa so boi denggan hubungan tu dongan : ala pangalaho, ala so marsihaporseaan, benci, lupa holong, anggap enteng dll. Molo di Batak di ikat ma dohot adat. Holong sejati, ima holong ni Tuhan. Pengorbanan doi, ndang porlu mangharap balas. Alai so piga na olo mangalean pengorbanan, jala tarbatas do holongna.


Holong ni jolma tarbatas, ala i nama kesanggupanna
Godang do hinsa manjalo, alai maol mangalean
Nang pe sude do adong i, na sian Tuhan do.
Gariada adong naeng mangahut dohot manindas.
boha do holong marpamili, lo do marsibantuan?
Taalusi ma dohot sintong


Holong adat :
Holong adat, ima holong mangalap holong
Adat ni jolma doi. Molo mangalean, ingkon do manjolo
Molo mangarahut, ingkon do mananggali
Parik ni janji mauli Hatubuan ni si marhalosi
Molo jinalo na uli Ingkon botoon mamolosi


Jadi adat ima budaya pargaulan/persekutuan ruhut. Asa unang holan manjalo. Lapatanna ingkon marbalos. Halak na so mangalean balas, didok ma so maradat, ima adat ni hajolmaon.


Hape jumolo do disediahon Debata : bumi, mata ni ari, bulan, udara, dohot sude na porlu di ngolu. Holan na mangolah nama manusia. Aha do balosna sian jolma?. Ungut-ungut, hagunturon, hajahaton do balosna?


Umumna gumodang do na mangulahon holong adat. Alai molo so boi dibalas/dipenuhi, gabe adong ma panaritaon, laos olo gabe parsalisihan.


Hajolmaon olo do pilih kasih mangalean holong adat. Holong sejati sude do di haholongi. Basa ni Tuhanta do holongi I, jala sude do marhak nampunasa. Holong ndang hea sala jot-jot ndang boi mungkpa ala ditipa hisap. Baliksa dipartopenghon nang pasaut sangkapna. Na denggan naeng ma, marsada Holong, adat dohot tigor di bagasan ngolu. Duri do hatigoran di angka parjahat. Alai hangoluan, haluaon do I din a mangulahon. Holong ni jolma, marpambuat. Dihaholongi, mangharap balas. Gari adat ingkon marbalas. Tarjadi doi ala manusia tetap mangutamahon dirina. Rakus/egois papudihon holong. Holong ni sejati so olo mambedahon. Tigor mangamati holong, godang tarjadi ala ni budi/materi manang laho mangharap balas. Adat ingkon marbalas do. Manusia parjolo Disonggopi godaan naeng mangkilala hinatabo hape paro hamagoan.


Masa ma parungkilon
Tarjadi hasusaan
Sulit ma parngoluan
So adong be hasonganan
Borat ni sitaonon
Mambahen ganggu iman
Disomba haportibion
Lam dao ma sian Tuhan


Jelas do : virus egois, hajahaton, holso dohot haotoon rarat do di portibion. Ido umbahen borat tantangan i. Marsibahen malona marsipatudu gogona asal saut sangkapna ndang parduli akibatna.


Alai si Raja Batak
Maju do pingkiranna
Dipatupa do uhum dohot adat Batak
Ihuthonon ni pinomparna


Adong ruhut poda
Adong ruhut pamisangon
Dibahen do umpasa
Pangidoan tu Mulajadi Nabolon


Molo songoni ise do parholong?
Ima : Na mambahen na adong di ibana
Gabe holong tu Debata dohot holong tu jolma


Saonari do adong beda I, hape ujungna ; Angka marga, punguan, suku, adat, agama, bangsa, Negara, marsipasadaan marga dohot budaya do muse, ima :
1 Marga na badia, budaya sonang
2. Marga marsingkor, budaya patungoripon
Marga na badia, budaya sonang ma na masuk tu surgo. Marga marsingkor, budaya patungoripon ma tu neraka. Panontuani, ala manurut hata ni Tuhanta na tarsurat di buku na badia mandok dua do inganan, ima Surgo dohot Neraka. Di pilit ma dia lomo ni rohana manurut pangalahona. SAbotulna unang ma marsiagoan.


Alai nang pe songoni
Godang do mangalaosi
So adong dihabiari
Haboion do dipingkiri


Aturan nian,
Tinompuk ma andora
Sinolsolan ma dosa
Porlu hamubaon ni roha
Anggiat asi roha ni Jahowa


Ndang boi ramalhonon
Olat ni dia parrohaonna
Sude do parlangitan
Naeng kuasanna
Holsoan ndang maradian
Orong-orong torus marsambung
Parungkilon ndang marpanangian
Ragam tantangan ndang na tanggung


Beda ni parngoluon
Mambahen pangiburuon
Dipatuduhon hamajuon
Dipataridahon hamoraon


Anggo pangidoan
Unang putus harapan
Pasahat ma tu Tuhan
Na ringkot dihangoluan


Denggan ni ngolu hinalomohon, alai dapot do sitaonon ai so boi tarjuarhon, bagian si jaloon. Di lilit biar ma ngolu I, mangadopi parungkilon. HORAS.

Sumber : Jaulahan Situmorang

Rabu, 17 Agustus 2011

SEJARAH SIMATARAJA DENGAN TAMBA BERSAUDARA – SEJARAH SIMATARAJA DENGAN SIALLAGAN DAN TURNIP

Tersebutlah kisah bahwa di Negeri Tamba tempat berdiam keturunan Tamba ada warisan peninggalan kakek Simataraja yaitu Saragi Tua dan peninggalan ayahnya yaitu Ompu Tuan Binur. Mereka berempat, Lango Raja, Saing Raja dan Simataraja beserta Deak Raja berunding untuk meminta penjelasan tentang warisan yang menjadi hak mereka itu. Dicapai kata sepakat yang akan menjadi utusan ke Negeri Tamba adalah Ompu Simataraja.

Pada hari baik bulan baik berangkatlah Simataraja ke Negeri Tamba dengan misi "patotahon" bagian peninggalan ayah dan kakeknya. Kedatangan Simataraja disambut oleh dongan sabutuhanya dari keturunan Raja Nai Ambaton yaitu Tamba bersaudara yang terdiri dari: Si Tonggor Dolok, Si Tonggor Tonga-tonga dan Si Tonggor Toruan.

Melalui acara marsisean Tamba bersaudara bertanya tentang maksud dan tujuan kedatangan Simataraja yang dijawab bahwa kedatangan Simataraja adalah untuk bertanya tentang warisan peninggalan kakek dan ayahnya yang ada ditanah Tamba. Atas pertanyaan tersebut Tamba bersaudara mengakui adanya peninggalan Ompu Tuan Binur dan Saragi Tua di tanah Tamba.

Beberapa hari kemudian Tamba bersaudara mengajak Simataraja ke Golat yang ada di tanah Tamba lalu berikrar untuk patotahon Golat keturunan Saragi Tua dan Tamba Tua dengan pembagian sebagai berikut:

* Bagian keturunan Tamba Tua adalah Golat ni Sitonggor Dolok, Si Tonggor Tong-tonga dan si Tonggor Toruan.
* Bagian Simataraja adalah Golat Saragi Tua sebagai warisan di Negeri Tamba.

Setelah ikrar ini dipastikan, rasa puas menghinggapi masing-masing pihak mengadakan pesta gembira, dengan mengundang semua unsur Dalihan Natolu, tidak ketinggalan dongan tubu, keturunan Raja Naiambaton Nabolon. Pada pesta tersebut mereka mengalahat horbo sitingko tanduk, sijambe ihur, siopat pusoran namalo marege di tonga alaman, melambangkan kegembiraan hati dan kerbau yang mempunyai empat kaki melambangkan kesatuan mereka yaitu; Raja Naimbaton Nabolon. Pada pesta tersebut mereka mengalahat horbo sitingko tanduk, si jambe ihur, si opat pusoran, namalo marege di tonga alaman, melambangkan kegembiraan hati dan kaki kerbau lambang kesatuan dari ke empat mereka yang mardongan sabutuha yaitu:

Simataraja
Si Tonggor Dolok
Si Tonggor Tonga-tonga
Si Tonggor Toruan

Dari kisah tersebut kita dapat mengetahui Ompu Simataraja adalah orang yang mempunyai kemampuan lebih dibanding saudara-saudaranya terbukti beliaulah yang terpilih menjadi utusan, suatu yang kurang lazim dalam masyarakat Batak mengingat hukum Batak yang patrilineal dimana yang tertualah biasanya yang mewakili kepentingan keluarga.

Apakah kemampuan Simataraja yang lebih itu?

Dikisahkan begitu mereka yaitu Simataraja dan Tamba bersaudara mendapat kata sepakat dan tanah warisan sudah di patota, segera diadakan pesta bolon sebab dua belah pihak sudah merasa lega, dan pantas berpesta.

Masalah warisan sudah sejak dahulu menjadi masalah pelik bahkan sampai sekarang, ditambah dengan sifat Batak yang biasanya keras dan tidak suka mengalah maka setiap kali bicara warisan persoalan menjadi sensitif. Tidak jarang karena masalah warisan sesama saudara kandung dapat bertengkar hebat, saling berebut, saling merasa paling berhak bahkan sampai mengakibatkan pertumpahan darah atau perseteruan sampai ke anak cucu, tidak berkesudahan. Meskipun masa kini orang sudah mengenal Akte, surat menyurat, tetap saja masalah warisan menjadi persoalan.

Maka kalau Ompu Simataraja dapat memperoleh apa yang menjadi misinya tanpa mendatangkan rasa sakit hati malah justru merasa puas, itu adalah salah satu kemampuan beliau dalam "marhata". Suatu bahasa diplomasi ala Batak yang penuh dengan bahasa halus, umpasa-umpasa, tamsil, yang tidak semua orang memilikinya, dan orang seperti ini digelari raja Parhata.

Kemampuan marhata dengan prinsip bukan marsiahut di ibana tetapi seperti ajaran moyang yang berbunyi:

Balintang ma pagabe
Tumondolhon sitadoan
Arinta ma gabe
Molo hita masipaolo-olo an

yaitu prinsip musyawarah untuk mufakat. Atau seperti filsafat Jawa yang berbunyi:
Kalah tanpa bolo, menang tanpa ngasorake
Kalah tetapi tidak rugi, menang tetapi tidak menghina.

Simataraja membantu Siallagan dan Turnip

Ada keturunan Raja Turnip dan Raja Siallagan, yang tinggal di Simanindo. Mereka mendapat serangan dari marga Purba dari Simalungun. Serangan demikian hebatnya, yang mengakibatkan kalau ada keturunan Turnip dan Siallagan yang tertangkap langsung di jadikan hatoban atau budak. Raja Turnip dan Siallagan kewalahan dan butuh pertolongan. {Kalau marga lain bersama Turnip, mungkin. Tapi kalau marga Siallagan bersama Turnip yang mendapat serangan di Simanindo, perlu ditelusuri. Karena "bona pasogit" marga Siallagan terdiri dari beberapa kampung di Siallagan yang terletak di antara Ambarita dan Tuktuk Siadong, sekitar 18 km dari Simanindo. Lumayan jauh. Terbentuk/berdirinya "harajaon Bius" di Simanindo dan di Hutaginjang (Simanindo) adalah oleh marga-marga Turnip, Sidauruk, Sitio, "paopat Boruna" Malau adalah atas "padan" (perjanjian/kesepakatan) ke-empat marga tsb. Sedang kampung-kampung tetangga Simanindo sebelum sampai ke Ambarita ialah Sangkal, mayoritas Sidabalok, adik Sidabutar dan Sijabat, Sibatubatu mayoritas Napitu, Janjimartahan mayoritas Rumahorbo dan Silahisabungan, Tolping mayoritas Silahi Sabungan dan Sidabutar, Unjur mayoritas Ambarita (Manik) dan Sidabutar. Sedang Ambarita dan sekitar sudah bercampur banyak marga-marga Sidabutar, Sijabat, Manik, Silahi Sabungan, Naibaho, Bakkara. Setelah itulah kampung Siallagan yang terkenal dengan Batu-Kursi, tempat Raja-Raja menjalankan peradilan jaman dahulu-kala}. Lalu diadakan Sidang Darurat yang memutuskan untuk meminta pertolongan Simataraja, selaku dongan tubu, tetangga dan konon khabarnya juga marpariban karena sama-sama helani ni Limbong. Utusan ditugaskan menemui Simataraja, dan untuk menunjukkan rasa hormat mereka membawa kuda Sigajanabara. Mendapat penjelasan dari utusan, Simataraja diyakini dapat melepaskan mereka dari kesulitan, maka dia pun berangkatlah ke Simanindo. Simataraja merancang strategy. Turnip dan Siallagan diminta agar selama tujuh hari memintal tali ijuk. Kemudian selama tujuh hari Turnip dan Siallagan agar jangan ada yang meninggalkan rumah. Simataraja mau berjuang sendiri, mempertahankan Simanindo. Dia membuat orang-orangan, sejenis ondel-ondel Betawi, yang dibuat mirip serdadu perang. Dipasang hanya pada malam hari, antara Rahutbosi dan Simanindo. Suatu malam musuh yang ditunggu-tunggupun datang, Simataraja siaga dengan tali ijuk di tangan, mengontrol orang-orangan. Begitu musuh sudah masuk pada jarak yang sesuai, tiba-tiba pengontrol ditarik mengakibatkan orang-orangan bergerak, bergoyang-goyang seperti serdadu yang menyerang musuh. Simataraja memberi komando seperti berperang. Musuh sangat kaget, menghadapi situasi yang tidak terduga, maka posisi perahu mereka kalang kabut, ada yang panik, ada yang tenggelam, ada yang melarikan diri. Musuh sudah kalah, sebelum menyadari apa yang terjadi. Turnip dan Siallagan sangatlah gembira. Pestapun diadakan, Simataraja diminta kesediaannya agar mau tinggal bersama mereka. Simataraja menolak permintaan dongan sabutuhanya, dengan ucapan:Marilah kita menempati tanah masing-masing. Kemudian mereka bertiga "marpadan". Pesan dari ceritera ini adalah Simataraja tidak mau mempergunakan kesempatan dalam kesempitan orang lain, tanah yang ditawarkan ditolak. Semoga keturunannya marga Simarmata, jangan menjadi orang yang materialistis.

Jumat, 12 Agustus 2011

UPACARA HORJA BIUS ADAT BUDAYA BATAK TOBA


Huta atau kampung di daerah komunitas orang Batak Toba adalah persekutuan masyarakat yang paling kecil yang dibentuk oleh marga. Mulanya mereka tinggal di kampung induk tetapi karena penduduknya terus berkembang menyebabkan terbentuk huta-huta yang baru. Untuk mengatur kepentingan bersama beberapa kampung atau huta membentuk federasi atau persekutuan yang sifatnya masih terikat satu dengan lainnya. Kumpulan huta disebut horja.

Perserikatan horja ini lebih banyak mengurus hal yang berhubungan dengan duniawi. Sedangkan urusan yang berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan mala petaka yang melanda warga seperti wabah penyakit, air bah, kekeringan, masyarakat membentuk perserikatan yang meliputi kelompok-kelompok semua marga yang ada di wilayah bencana (gabungan dari horja) disebut bius. (Siahaan ; 2005: 153-158).

Pada masa lalu di Samosir pesta persembahan kurban (pesta bius) dilakukan untuk memohon kepada dewata supaya tidak terjadi musim kering berkepanjangan, tidak ada paceklik, tidak ada wabah penyakit. Pesta dilakukan berkala setiap tahun, namun setelah misi agama Kristen masuk dan berkembang di daerah ini upacara Horja Bius tidak dilakukan lagi. Pesta terakhir (pesta bius mangase taon) terakhir pada sekitar tahun 1938. (Siahaan, 2004: 165-166).

Tanggal 11 Juli 2006 di desa Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir dilaksanakan pagelaran budaya "Pesta budaya Horja Bius Tomok II". Pagelaran ini menurupakan teater kolosal yang merupakan modifikasi upacara yang pernah dilakukan oleh para leluhurnya. Pada masa dahulu upacara Horja Bius Tomok bersifat sakral sebagai upacara persembahan kepada leluhur Ompung Raja Sidabutar yang telah mendirikan kampung Tomok.

Dalam pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion

Ritual Hahomion adalah upacara yang dilakukan oleh warga masyarakat di desa Tomok, Kecamatan Simanindo yang ditujukan untuk pemujaan kepada roh leluhur dan kekuatan gaib. Maksud diadakannya Ritual Hahomion untuk memberikan sesajen/persembahan kepada kekuatan gaib dan roh leluhur warga Tomok. Mereka percaya bahwa roh leluhur masih memiliki peran dalam kehidupan keturunannya. Mereka juga percaya bahwa roh nenek moyang senantiasa memantau kehidupan sosial kemasyarakatan. Persembahan ini dimaksudkan sebagai bukti nyata dari warga untuk pengakuan akan adanya kekuatan gaib yang mengiringi kehidupan mereka.

Tujuan ritual Hahomion untuk memohon agar roh dan kekuatan kekuatan gaib tetap memantau kehidupan warga dan memohon kepada Mulajadi Na Bolon agar senantiasa memelihara, mendatangkan kemakmuran, dan ketentraman hidup warga.

Penyelenggara Ritual Hahomion adalah warga desa Tomok pelaksananya dipilih melalui musyawarah kampung/desa. Menurut informasi yang diperoleh dari beberapa warga Tomok bahwa seseorang ditunjuk sesuai dengan keahlian dan kemampuan atau kecakapan yang dimiliki untuk melaksanakan tugas dan sekaligus sebagai penanggung jawabnya. Dalam musyawarah desa ditetapkan ketua/penanggung jawab secara keseluruhan Ritual Hahomion. Dipilih juga wakil ketua dan petugas yang akan menjadi penanggung jawab dari setiap kelompok/tahapan ritual.

Persiapan ritual dimulai dari pembicaraan antara pengetua adat/ kampung atau si empunya hajatan/yang akan mengadakan persembahan. Dulu ritual ini diutarakan oleh perorangan jika yang bersangkutan ingin menyampaikan keinginan atau permintaannya untuk kepentingan/hajatan pribadi/keluarga. Bila keinginan/hajatan untuk kepentingan bersama, maka dibicarakan secara musyawarah.

Persiapan yang diadakan untuk upacara hahomion adalah mengumpulkan perlengkapan sesajen yakni mulai mencari bahan-bahan yang ditentukan, mengolah atau memasak sampai siap disajikan pada satu hari sebelum ritual. Persiapan mengolah/memasak bahan sesajen dilakukan pada malam hari sebelum upacara puncak ritual. Persiapan kedua adalah menyiapkan tempat ritual baik di rumah bolon maupun di halaman rumah bolon, dan di kompleks pekuburan Ompung Raja Sidabutar. Di sekeling rumah bolon dihiasi daun kelapa muda atau janur dan meja empat segi panjang yang juga dihiasi dengan daun kelapa muda/janur. Di kompleks pekuburan Ompung Raja Sidabutar terdapat meja berbentuk segitiga yang dihiasi dengan daun kelapa muda atau janur merumbai ke bawah. Di kompleks kubur Ompung Sidabutar ini juga dihiasi dengan kain tiga warna, merah, putih dan hitam. Di sepanjang jalan antara rumah bolon dan pekuburan Ompung Sidabutar dihiasi daun kelapa muda/janur sebagai bendera/gaba-gaba.

Persiapan lainnya adalah mencari/mengumpulkan daun sirih pilihan yang dipergunakan sebagai persembahan dan kelengkapan bahan upacara. Daun sirih ini sebagian juga dimakan oleh inang-inang yang akan menjunjung makanan sesajen, datu, pemasak makanan dan pemimpin upacara sebelum acara dimulai. Perlengkapan upacara berupa bahan makanan yang dimasak, dedaunan sebagai pelengkap ritual Dedaunan yang diperlukan dalam upacara ini antara lain; daun kelapa muda, daun pisang dan daun sirih.

Perlengkapan bahan makanan meliputi dari hewan, ikan, tepung beras, buah-buahan diantaranya adalah:

1. Satu Ekor Kambing Putih (hambing putih) yangdimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang kambing, bagian kepala, leher, dada/badan, pangkal paha bagian atas, paha bagian tengah kaki bagian depan dan belakang. Daging kambing ini dimasak dengan bumbu seperti cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika hewan ini hidup dalam pinggan pasu/piring besar dari keramik.

2. Ayam Putih Jantan (Manuk Putih Jantan/manuk mira), dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki dan buntut dimasak dengan bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah, bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare disajiakan/disusun sesuai urutan ketika hewan hidup dalam pinggan pasu atau piring biasa/piring keramik putih ukuran sedang.

3. Ayam Jantan Merah Panggang (manuk mira narara pedar) dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki, buntut, ayam dicuci dan dipanggang, darahnya dicampurkan ke bumbu dan dilumuri secara menyeluruh. Ayam ini yang memasak khusus suami dan hanya para suami yang boleh makan ayam ini nantinya bila ritual selesai. Disajikan dalam pinggan pasu dengan posisi ayam duduk.

4. Ayam Jantan (manuk faru basi bolgang). Ayam ini utuh ditujukan kepada yang sakti, ayam dipotong dibelah/dikeluarkan bagian dalam perutnya, direbus/dikukus sampai matang, sebelum direbus diberi bumbu rendang tapi tak memakai santan.

5. Sagu-sagu. Bahan kue ini dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan dibentuk menggumpal/membulat. Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang pemberi semangat.

6. Itak Nani Hopingan, kueh dari tepung beras dicampur dengan pisang, gula putih, gula merah ditumbuk/dicetak bisa berbentuk bulat diletakkan di piring. Di atas itak nani hopingan diberi telur, bunga raya dan roddang (kembang jagung), pisang dan menge-mangeni pining (bunga pinang) Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang minta doa restu.

7. Itak Gurgur atau Pohul-pohu. Bahan kue ini dari tepung beras, gula putih, kelapa digongseng setengah matang dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk, dengan menggunakan jari/genggaman.

8. Ihan Batak yakni ikan khusus dari danau toba yang dimasak utuh satu ekor dengan terlebih dahulu dibersihkan bagian perut dan diberi bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, serre, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan di atas nasi kuning yang diberi bumbu di sertakan dengan pisang, itak gurgur dan bahan lainnya.

9. Anggir pangurason yakniair yang dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan dedaunan untuk penawar dan bahan lainnya, ditaruh dalam wadah berupa cawan putih.

10. Assimun pangalambohi adalah bahan yang terbuat dari timun dipotong panjang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.

11. Tanduk horbo paung yang terbuat dari pisang berukuran besar-besar seperti pisang ambon/pisang Batak yang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.

12. Hajut/kampil; sumpit putih diisi beras, uang pecahan (hepeng) nilai terbesar Rp.100.000,-, ditutup dengan daun sirih. Hajut ini sebagai perlambang kunci persembahan yang dibawa oleh Datu/dukun dan diletakkan di atas meja persembahan bersama bahan sajen lainnya.

13. Aek Naso ke mida matani ari (air kelapa muda ) air yang bersih dan steril. Cara penyajiannya kelapa muda dilobangi bagian atasnya, di atas lobang tersebut diletakkan jeruk purut dan bunga raya merah.

14. Perlengkapan makan sirih yaitu daun sirih, gambir, kapur, cengkeh, buah pinang dan tembakau.

15. Perlengkapan pakaian untuk semua peserta upacara adalah memakai pakaian adat Batak Toba (ulos), bagi perempuan ulos diselempangkan atau diselendangkan sebagai pengganti baju, bagi laki-laki ulos disarungkan dan diselempangkan tanpa baju. Bagi orang tertentu memakai ikat kepala menunjukkan kedudukan dalam pranata sosial. Khusus Datu memakai pakaian baju berwarna hitam yaitu melambangkan bahwa datu tersebut seolah-olah bertindak sebagai perlambang kehadiran Debata Batara Guru (salah satu dari Debata Na Tolu) yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kebijakan, sementara pada kepala memakai ikat kepala berwarna merah yakni melambangkan Debata Bata Bulan yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kekuatan.

16. Perlengkapan lainnya adalah "Dupa" tempat membakar kemenyan, yakni wadah yang diisi abu, bara api, dan ditaburkan kemenyan sedikit demi sedikit. Aroma khas kemenyan dimaksudkan untuk mengundang kehadiran mahluk gaib/kekuatan gaib untuk hadir dan menyatu dalam ritual yang dilaksanakan.

17. Pergondangan yaitu menyiapkan satu gordang (gondang besar), 5 buah topong (gondang yang ukurannya lebih kecil) 1 buah kesik (hesek-hesek) dan 2 buah ogungdoal (Gong), ogung ihutan dan 1 ogung oloan panggor dan 1 buah sarune.

Upacara adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang dilakukan nenek moyang mereka yang terdahulu dan disamping itu mereka hendak melestarikan budaya yang mereka miliki yang juga berguna untuk menarik wisatawan kedaerah tersebut.