Jumat, 29 Juli 2011

SEJARAH DAN LEGENDA POMPARAN SI RAJA BATAK

Batak (jaman dahulu kala) mempercayai adanya penciptaan langit, bumi dan segala isinya. Pencipta tersebut adalah Debata Mulajadi Nabolon. Penciptaannya tak beda jauh dengan penciptaan seperti yang sering kit abaca dalam Alkitab ( Kejadian ).

Tetapi khusus untuk penciptaan manusia, sangatlah jauh berbeda. Menurut legenda Batak, manusia bermula setelah perkawinan antara si Boru Deak Parujar (salah satu dari 6 anak perempuan Bataraguru ) dengan Raja Odapodap, mereka dijodohkan oleh Debata Mulajadi Nabolon sewaktu mereka masih berdiam di Banua Ginjang/Surga (langit papituhon ). Karena itulah dahulu ada “umpama Batak “ : Timus gabe ombun, ombun jumadi udan, mula ni tano dohot jolma ima sian si Boru Deak Parujar.

Dalam kepercayaan Batak, langit terdiri dari 7 lapis yaitu :

1. Langit Pertama, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya selalu melakukan hal-hal yang terbalik dari aturan ( suhar pambaenan )
2. Langit Kedua, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya selalu mencuri, merampok.
3. Langit Ketiga, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya selalu panjang lidah, suka membicarakan orang lain ( siganjang dila ).
4. Langit Keempat, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya memfitnah, lintah darat. Di sini juga tempat hukuman roh orang yang bunuh diri.
5. Langit Kelima, adalah tempat roh orang yang semasa hidupnya suka menolong orang yang tidak punya ( dermawan ).
6. Langit Keenam, adalah tempat pertimbangn/ putusan Bataraguru terhadap manusia yang akan lahir. Menurut leluhur Batak, manusia yang mau lahir ke dunia akan meminta dan bertanya lebih dahulu kepada Bataraguru bagaimana hidupnya nanti setelah lahir.
( Dolok Martimbang hatubuan ni horahora, Debata na di ginjang suhat-suhat ni hita jolma ).
7. Langit Ketujuh, adalah tempat roh orang yang semasa hidupnya baik, suci/percaya, tempat Mulajadi Nabolon, dan inilah surga.

Setelah perkawinan si Boru Deak Parujar dengan Raja Odap-Odap, lahirlah anaknya kembar dampit ( marporhas ). Laki-laki dinamai RAJA IHAT MANISIA dan yang perempuan dinamai BORU ITAM MANISIA. Mereka bertempat tinggal di SIANJUR MULA-MULA.

Pada saat penghuni langit ( Banua Ginjang ) datang mengunjungi mereka, Si Boru Deak Parujar dan Raja Odapodap ikut naik ke langit (Banua Ginjang ), tetapi Debata Asiasi dan si Boru Naraja Inggotpaung tinggal bersama Raja Ihat Manisia dan si Boru Itam Manisia di Sianjur Mula-Mula.

Setelah besar, Raja Ihat Manisia kawin, tetapi tidak jelas siapa dan darimana istrinya, apakah kembarannya atau anaknya si Boru Naraja Inggotpaung, yang jelas mereka mempunyai anak 3 orang yaitu : Raja Miok-miok, Patundal Nabegu dan Aji Lampas- Lampas.

Karena perebutan harta dan selisih paham, ketiga bersaudara itu bertengkar, akhirnya si Patundal Nabegu dan Aji Lampas-Lampas meninggalkan Sianjur Mula-Mula, tidak diketahui kemana perginya.

Inilah permulaan Sejarah Batak yang merupakan keturunan dari Raja Ihat Manisia.

Kalau Raja Ihat Manisia sebagai manusia pertama dalam sejarah dan legenda Batak, lantas bahagimana hubungannya dengan si RAJA BATAK?

Menurut Legenda (mungkin juga Sejarah ) antara RAJA IHAT MANISIA dengan si RAJA BATAK terdapat 5 generasi. Jelasnya anak Raja Ihat Manisia seperti diterangkan pada bagian Pertama ada 3 orang, yaitu Raja Miokmiok, Patundal Nabegu dan Ajilampaslampas (sebagian mengatakan Aji Lapaslapas). Setelah perpisahan ketiga bersudara itu kawin (tidak diketahui dengan siapa ) dan mempunyai anak ENGBANUA. Anak Engbanua ada 3 orang yaitu : Raja Ujung, Eng Domia (Raja Bonang-bonang) dan Raja Jau.

Konon, Raja Ujung adalah leluhur orang Aceh, Raja Jau adalah leluhur orang Nias, sedangkan Eng Domia adalah leluhur orang Batak, artinya menurut legenda ini maka orang ACEH adalah saudara tua (abang ) orang BATAK dan orang NIAS adalah adik orang Batak, tetapi ada juga pendapat bahwa leluhur orang Nias adalah RAJA ISUMBAON (anaknya si Raja Batak ).

Raja Bonangbonang mempunyai seorang anak yang dinamai RAJA TANTAN DEBATA. Dari perkawinan Raja Tantan Debata lahirlah si RAJA BATAK.

Si Raja Batak kawin dengan putri dari SIAM, sebagian mengatakan kawin dengan manusia jadi-jadian, tetapi kalau kita berpijak pada sejarah ada benarnya bahwa istri si Raja Batak berasal dari Siam (Benua Asia Kecil ). Anak si Raja Batak ada 2 orang, yaitu GURU TATEA BULAN dan RAJA ISUMBAON. Guru Tatea Bulan sering juga disebut dengan ILONTUNGAN alias si MANGARATA, alias TOGA DATU.

Semasa remaja, Guru Tatea Bulan mendapat warisan benda-benda pusaka pemberian “tulangnya” dari Siam yaitu berupa : tombak siringis, batu martaha dan cincin yang cocok pada semua jari tangannya.

Guru Tatea Bulan kawin dengan SIBASO BURNING, yang menurut versi keturunan Borbor Marsada adalah anak gadis manusia primitive yang sudah ada di daerah Sumatera, tetapi sebagian versi mengatakan bahwa Sibaso Burning adalah putri jadi-jadian (boru ni homang ), karena kemampuan kesaktiannya, Guru Tatea Bulan dapat mengajari istrinya menjadi orang beradab. Dari perkawinannya mereka mempunyai 5 orang anak laki-laki dan 5 orang anak perempuan. Mereka adalah : Raja Biakbiak (Raja Miokmiok), Tuan Saribu Raja (Ompu Tuan Rajadoli), Limbong Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja, sedangkan putrinya adalah : Si Boru Biding Laut (diyakini Nyi Roro Kidul), Siboruparema, Siboru Anting Haomasan  dan Siboru Sinta/Sanggul Haomasan, sedangkan seorang lagi yaitu NANTINJO konon adalah Waria (Banci ) pertama dalam Legenda dan Sejarah Batak.

Menurut cerita, Tuan Saribu Raja dan Siboru Pareme lahir kembar dampit (marporhas).

Raja Isumbaon adalah manusia misterius, tidak ada yang tau cerita dan keberadaannya, tetapi kemudian disebutkan dari perkawinannya lahir 3 orang anaknya yaitu : Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-Asi dan Sangkar Somalidang.

Dari cerita di atas jelas terlihat bahwa marga pertama dalam Silsilah/Tarombo orang Batak adalah marga LIMBONG dan marga SAGALA.

Pertanyaan akan selalu muncul mengikuti logika, Raja Batak mempunyai 2 orang anak, tidak disebutkan mempunyai anak perempuan, pertanyaan yang paling lumrah adalah : Anak Perempuan siapa yang menjadi isteri mereka, kalau memang manusia juga, berarti pada masa itu sudah ada manusia lain selain keluarga si Raja Batak.

Seperti di sebutkan pada Episode II, isteri Guru Tatea Bulan ada yang mengatakan dari kelompok orang primitive yang sudah ada di sekitar Danau Toba, dan pendapat lain mengatakan keturunan makhluk jadi-jadian (boru ni homang ).

Pertanyaan seperti itu juga muncul pada masa kekinian setelah orang Batak mengenal agama monotheis ( Kristen dan Islam ), pada zaman penciptaan manusia Adam dan Hawa yang mempunyai anak Kain, Habel dan Set. (baca Kejadian: 4 dan 5 ), lantas siapa dan anak siapa istri Kain dan Set? Ok, hal itu tidak perlu diperdebatkan karena sudah menyangkut masalah keimanan seseorang.

Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon setelah berkeluarga, meminta hak kepada ayahandanya si Raja Batak, tetapi pada masa itu belum banyak harta benda yang bisa diserahkan si Raja Batak kepada kedua anaknya, dan memang juga bukan harta benda yang mereka minta, tetapi “sangap” dan “kesaktian”. “Berikanlah kepada kami yang belum pernah kami lihat dan yang belum pernah kami ketahui”, kira-kira demikianlah permintaan Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Si Raja Batak walaupun punya kesaktian, tetapi dia tidak bisa memberikan apa yang diminta anaknya, karena itu dia meminta kepada kedua anaknya agar bersabar dan sama-sama memohon (martonggo) kepada Mulajadi Nabolon Debata Natolu agar diberikan “ sahala tua sahala harajaon .“

Debata Natolu Mulajadi Nabolon mengabulkan permintaan doa mereka, maka dikirimkanlah 2 (dua) buah gulungan surat Batak. Pada gulungan pertama tulisan arang (tombaga agong ) yang menjadi bagian Guru Tatea Bulan berisi tentang ilmu: Perdukunan/Pengobatan, Kesaktian, Seni pahat , Kekuatan, juga ilmu beladiri (parmonsahon ) dan ilmu menghilang ( pangaliluon ).

Pada gulungan kedua surat tombaga holing berisi tentang ilmu : Pemerintahan, hukum, bercocok tanam dan dagang.

(Tentang Surat Batak ini sedikit ada kontraversi, apakah memang sudah ada pada saat si Raja Batak atau beberapa generasi berikutnya, dan apakah diturunkan oleh Debata Natolu Mulajadi Nabolon kepada si Raja Batak atau diciptakan oleh manuasia. Hal ini masih menjadi simpang siur.

Salah seorang keturunan Guru Tatea Bulan adalah Raja Biak-Biak (Raja Miokmiok), kelahirannya disertai guruh, hujan lebat dan angin puting beliung, namun setelah lahir alangkah kaget dan kecewanya si Guru Tatea Bulan dan istrinya si boru Baso Burning, karena yang lahir tidak sempurna sebagai manusia, tidak punya kaki dan tangan. Dia tidak bisa duduk, hanya bisa berguling-guling, karena itu Raja Biak-biak dinamai juga Raja Gumeleng-geleng (guling-guling).

Pada suatu waktu, Mulajadi Nabolon Debata Natolu turun ke bumi (Sianjur Mula-Mula) dan mencobai iman (haporsean) Guru Tateabulan. Mulajadi Nabolon meminta agar Guru Tatea Bulan menyerahkan anaknya Saribu Raja untuk dipotong dan dipersembahkan.

Guru Tatea Bulan mengatakan, “ Datangnya dari Tuhan (Mulajadi Nabolon Debata Natolu ), kalau Mulajadi Nabolon meminta, saya tidak berhak menolak”. Mendengar itu Raja Biak-biak berpikir bahwa dialah yang akan dipotong/dibunuh, dibandingkan Saribu Raja yang sempurna, dia tidak ada harganya, maka dengan tergesa-gesa dia meminta kepada ibunya agar menyuruh ayahandanya menyembunyikan dia. Guru Tatea Bulan pun menyembunyikan dia di Gunung/Dolok Pusuk Buhit.

Saribu Raja jadi dipotong dan dipersembahkan, tetapi karena Guru Tatea Bulan ikhlas dan Saribu Raja tidak menolak menjadi korban persembahan, Mulajadi Nabolon menghidupkan dia kembali serta memberikan berkat (pasu-pasu).

Mulajadi Nabolon datang dan pergi selalu dari puncak Dolok Pusuk Buhit, maka ketika dia mau kembali ke banua ginjang melalui Dolok Pusuk Buhit, dia melihat Raja Biak-biak ada di situ. Raja Biak-biak memohon kepada Mulajadi Nabolon agar disempurnakan, Mulajadi Nabolon pun mengabulkan permohonan Raja Biak-biak, diberi tangan, kaki, bahkan diberi sayap, ekor dan mulutnya seperti (maaf) moncong babi. Pada saat itu Mulajadi Nabolon berkata : “ Walau bentuk tubuhmu tidak sempurna seperti manusia biasa, tetapi kamu punya keistimewaan, tidak akan pernah tua, tidak akan mati dan kamu akan menjadi perantara manusia yang akan memberikan persembahan kepadaku, kuberi kamu gelar RAJA HATORUSAN atau juga RAJA UTI.”

Dengan kemampuannya Raja Biak-biak/Raja Miok-miok/Raja Gumeleng-geleng/ Raja Hatorusan/ Raja Uti dapat pergi kemanapun sesuka hatinya, namun pada awalnya dia pulang ke Sianjur Mula-Mula, kemudian ke Aceh dan ke bagian selatan Tapanuli ( Barus ).

Telah disebutkan di atas bahwa Tuan Saribu Raja lahir kembar dampit dengan Siboru Pareme, di kemudian hari rasa cinta tumbuh diantara keduanya dan mereka pun melakukan perkawinan incest (sedarah terlarang), inilah mungkin salah satu peringatan bagi masyarakat Batak sekarang apabila mempunyai anak yang lahir kembar dampit selalu dipisahkan pengasuhannya agar tidak terjadi sebagaimana antara Tuan Saribu Raja dengan Siboru Pareme.

Dari perkawinan antara Tuan Saribu Raja dengan Siboru Pareme, lahirlah serang anak laki-laki yang kemudian diberi nama SI RAJA LONTUNG. Si Raja Lontung lahir di tengah hutan rimba yang belum pernah didatangi manusia, karena Si Boru Pareme dibuang oleh saudaranya karena malu dengan perbutannya. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Si Raja Lontung adalah keturunan si Boru Pareme dengan Babiat Sitelpang yang selalu datang membawa makanan kepada Si Boru Pareme, karena Si Boru Pareme menolong mengambilkan tulang yang tersangkut di mulut harimau itu. Kalau pendapat ini benar, timbul pertanyaan : Mengapa dan apa penyebab Si Boru Pareme berada di tengah-tengah hutan belantara? Karena tidak mempunyai alasan yang kuat, maka pendapat lebih cenderung mengatakan bahwa Si Boru Pareme memang dibuang oleh saudaranya ke hutan belantara ( tombak longo-longo, harangan rimbun rea parhais-haisan ni babiat paranggun-anggunan ni homang) karena telah diketahui saudara-saudaranya telah melakukan perbuatan terlarang, dan di hutan bertemu dengan Babiat Sitelpang seekor Harimau dimana ketika itu si Boru Pareme menolong Harimau mengambilkang tulang yang tersangkut di mulut harimau itu dan mulai saat itu Babiat Sitelpang turut dalam menjaga si Boru Pareme hingga lahirnya Raja Lontung sampai besar. Sedangkan si Saribu Raja menurut cerita pergi setelah adik bungsunya Lau Raja memberitahukan kepada abangnya Saribu Raja kalau abangnya Limbong Mulana dan Sagala Raja berniat membunuhnya karena telah melakukan hal yang dianggap tidak pantas.

Tuan Saribu Raja adalah orang yang tidak betah berdiam diri di suatu tempat, dia selalu berkelana dari satu daerah ke daerah lain, dan di daerah baru itu beberapa kali dia kawin lagi. Adalah Nai Mangiring Laut, salah satu istrinya, dikatakan adalah manusia peliharaan lelembu (homang), dari perkawinannya dengan Nai Mangiring Laut lahirlah SI RAJA BORBOR. Setelah anaknya lahir Tuan Saribu Raja membawa mereka ke suatu tempat di luar Sianjur Mula-Mula, tempat itu sekarang dikenal dengan PARIK SABUNGAN.

Sampai saat ini masih ada kontroversi diantara keturunan Tuan Saribu Raja, siapa yang lebih dahulu lahir antara SI RAJA LONTUNG dan SI RAJA BORBOR. Kalau dalam sejarah dan Tarombo Borbor Marsada, yang lebih duluan lahir adalah si Raja Borbor yang otomatis menjadi siabangan (sihahaan), konon menurut cerita sewaktu Nai Mangiring Laut mengandung, si Boru Pareme datang menggoda saudaranya Tuan Saribu Raja dan terjadilah hubungan terlarang.

Di lain tempat (di daerah Barus sekarang), Tuan Saribu Raja juga mempunyai isteri yang tidak jelas diketahui asal-usulnya, sebagian mengatakan putri Tamil, sebagian lagi mengatakan keturunan harimau, dari perkawinannya lahir anaknya laki-laki yang dinamai RAJA GALEMAN atau digelari juga dengan SIBABIAT.

Dari cerita di atas jelaslah bahwa keturunan Tuan Saribu Raja ada 3 orang yaitu : LONTUNG, BORBOR dan SIBABIAT. Dari ketiga orang tersebut, dikemudian hari berkembang marga-marga yang sekarang kita kenal dengan kumpulan marga : NAIMARATA, BORBOR MARSADA dan LONTUNG MARSADA.

Telah diterangkan di atas, Guru Tatea Bulan mempunyai 4 orang anak perempuan, selain Si Boru Pareme yang dua lagi adalah SIBORU ANTING  HAOMASAN dan SIBORU SINTA/SANGGUL HAOMASAN. Kedua wanita ini kawin dengan TUAN SORIMANGARAJA anak dari Raja Isumbaon. Isteri Tuan Sorimangaraja sendiri ada 3 orang, yaitu Si Boru Paromas/Si Boru Anting Malela, Si Boru Anting Haomasan, dan Si Boru Sinta/Sanggul Haomasan. Sedangkan Si Boru Biding Laut diperkirakan adalah Nyi Roro Kidul Ratu Pantai Selatan. (Baca : Asal Usul Nyi Roro Kidu)

Pada masa itu, keturunan si RAJA BATAK terbagi atas 2 kelompok, keturunan Guru Tatea Bulan disebut dengan ILONTUNGON sedangkan keturunan dari Raja Isumbaon disebut SUMBA.

Dikemudian hari, dari 2 kelompok tadi berkembang menjadi 5 kelompok yang menjadi INDUK MARGA-MARGA BATAK yang ada sekarang, dengan catatan bahwa keturunan dari Raja Asi-asi, Sangkar Somalidang, Toga Laut dan keturunan Saribu Raja dari isteri ketiga yaitu Raja Galeman (Sibabiat) belum termasuk, karena keturunan mereka tidak jelas keberadaannya dan patut diduga ada di daerah Asahan, Langkat, Karo, Deli Serdang, Binjai dan di Aceh ( Tapak Tuan, Takengon dan Kutacane).

Salah seorang boru dari Guru Tatea Bulan ialah NANTINJO yang dikatakan sebagai BANCI/WARIA pertama dalam sejarah dan legenda orang Batak. Orang mengatakan bahwa dia sebenarnya berjenis kelamin laki-laki tetapi pembawaan dan tingkah laku layaknya perempuan sebagaimana waria yang kita kenal sekarang. Guru Tatea Bulan dan saudara-saudaranya memaksa dia supaya berumah tangga, pada mulanya Nantinjo masih bisa memberi alasan, tetapi kemudian di belakang hari dia tidak bisa lagi mengelak anjuran dan paksaan abangnya. Dia masih berusaha untuk menolak dengan meminta “sinamot” sebanyak satu perahu penuh emas, dengan harapan tidak ada yang sanggup memberikannya, ternyata dia keliru. Ada saja orang yang datang melamar dia dengan “sinamot” sebanyak yang dia minta, Nantinjo tidak bisa mengelak, diapun dibawa oleh “suaminya” menyeberangi danau ke tempat mertuanya. Di perjalanan, Nantinjo berpikir bahwa sesampai di tempat mertuanya “dunia” akan geger apabila masyarakat mengetahui cacatnya. Maka dengan putus asa, dia berdoa (martonggo) ke Boru Saniangnaga dan Mulajadi Nabolon Debata Natolu : “ O ale ompung Mulajadi Nabolon, Debata Natolu na di Banua Ginjang dohot ho Boru Saniangnaga pangisi ni Banua Toru, ompuompu ni hunik nama au tinuhor sian onan, dang bulung ni dulang dang bulung ni rias, ompu ni hinalungun soada tudosan, napaila damang molo tarboto tihas, tagonanma langge padopado sikkoru, tumagonan ma mate daripada mangolu, buatton ma au begu luahon au sombaon ai sudena on soboi be hutaon. “ Setelah berkata demikian, Nantinjo melompat ke tengah danau dan tenggelam.

Pada saat berangkat dari Sianjur Mula-Mula, dia dibekali dengan alat tenunnya yang selalu dia pakai semasa “gadisnya” bersama “buluhot” (pangunggasan yang terbuat dari bambu), setelah Nantinjo tenggelam, semua peralatan itu mengapung sehingga orang yang menemukan mayat Nantinjo juga menemukan semua peralatan tenun tersebut dan membawanya ke darat. Nantinjo dimakamkan di Malau bersama semua peralatannya, dikemudian hari dari makamnya “buluhot” tersebut tumbuh bambu besar (bulu godang) yang ada sampai saat ini di Tiga Malau dekat Simanindo, dan tempat tersebut sampai sekarang dianggap sebagai tempat keramat. (Baca : SEJARAH BORU NAN TINJO).

Telah diterangkan di atas bahwa Raja Isumbaon ada 3 orang yaitu : Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkar Somalidang.

Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 orang isteri, 2 orang diantaranya adalah putri Guru Tatea Bulan yaitu Siboru Anting Haomasan dan Siboru Sinta/Sanggul Haomasan. (Kalau jaman kekinian tentunya itu terlarang, karena dia mengambil isteri dari putri Bapatuanya, tetapi pada masa itu karena memang penduduk disekitar danau Toba masih sangat jarang, hal tersebut adalah lumrah). Masih menjadi kontraversi karena berbagai versi dimana versi umum dikatakan istri Tuan Sorimangaraja adalah 3 Si Anting Homasan yang dikenal si Boru Paromas (NAIAMBATON), si Boru Biding Laut (NAIRASAON), dan si Boru Sanggul Haomasan (NAISUANON), dimana tidak diketahui asal usul si Boru Sanggul Haomasan, namun menurut sumber ini dikatakan boru Guru Tatea Bulan hanya 4 sesungguhnya adalah 5 dimana siakkangan adalah si Boru Biding Laut, dan Si Boru Sanggul Haomasan adalah boru ni Guru Tatea Bulan, sedangkan si Boru Paromas/Si Boru Anting Malela tidaklah sama dengan Si Boru Anting Haomasan boru ni Guru Tatea Bulan melainkan si Boru Anting Malela/si Boru Paromas ini bukanlah boru dari Guru Tatea Bulan namun dari pihak lain yang belum diketahui informasinya (informasi ini bisa kita lihat dari tarombo ni Borbor atau lagu tarombo ni Borbor).

Dari isteri pertama Tuan Sorimangaraja dia mempunyai anak yang dinamai TUAN SORBA DIJULU (NAI AMBATON) dan dari dari isteri kedua juga seorang, TUAN SORBA DIJAE (NAI RASAON), dari isteri ketiga Tuan Sorimangaraja mempunyai anak dan diberi nama TUAN SORBA DIBANUA (NAI SUANON).

Ketiga isterinya dengan panggilan nama anaknya lebih terkenal daripada Tuan Sorimangaraja sendiri, hal ini terjadi karena Tuan Sorimangaraja adalah orang tidak betah berdiam diri, dia berkelana dari satu daerah ke daerah lain sambil memberikan pengobatan kepada orang-orang yang memerlukan kepintarannya.

Isteri ke 3 Tuan Sorimangaraja yaitu Siboru Sanggul Haomasan lebih duluan melahirkan daripada isteri ke 2 (Si Boru Anting Haomasan), karena itu Si Boru Anting Haomasan selalu bermuram durja dan selalu “mangandung”. Dalam “andungnya” sering sekali keluar kata-kata penyesalan, kata-kata putus asa, karena pada masa itu seorang wanita yang sudah kawin belum dianggap sebagai perempuan apabila belum melahirkan keturunan untuk menyambung tali kehidupannya. Kendati sudah lama kawin, Mulajadi Nabolon Debata Natolu belum memberikan Si Boru Anting Haomasan keturunan untuk membuktikan dia sebagai perempuan yang sempurna. Tentunya sekarang pikiran seperti itu sudah bukan zamannya lagi, tidak mempunyai keturunan tidak semata-mata karena kekurangan isteri, bisa juga si suami, kendati demikian masih ada juga orang, khususnya orang Batak yang masih menganut pemikiran manusia zaman dulu, dan itu dijadikan pembenaran untuk berpoligami.

Demikianlah Si Boru Anting Haomasan, setiap hari sebelum matahari terbit, dia sudah pergi ke pinggir danau, siang hari bernaung di bawah pohon besar “beringin na mardangka tu langit”, di malam hari selalu menyendiri “songon tandiang na hapuloan”. Tidak pernah terlihat ceria di wajah Si Boru Anting Haomasan.

Sebagaimana diceritakan bahwa Siboru Biding Laut lama tidak diberikan keturunannya, dalam keputus asaannya di menceburkan diri ke danau, tetapi dia tidak tenggelam. Tubuhnya terombang ambing di danau kian kemari, dipermainkan ombak seperti nasib yang mempermain-mainkan kehidupannya. Entah berapa lama dia terobang-ambing sampai akhirnya terdapar di daratan, begitu sadar dia memandang nanar ke kejauhan, ke arah Dolok Pusuk Buhit.

Ternayata Tuan Sorimangaraja sedang mencarinya di sekitar Sianjur Mula-Mula, karena tidak ketemu, diapun menyeberangi danau sambil “martonggo” agar Mulajadi Nabolon menyelamatkan “persinondukna” Si Boru Anting Haomasan.

Doanya terkabul, diseberang danau dia menemukan Si Boru Anting Haomasan dalam kebingungannya, dia membawa isterinya kea rah “habinsaran”. Disuatu tempat yang dirinya subur, Tuan Sorimangaraja mendirikan (mamukka) pemukiman bagi mereka.

Tetapi memang dasarnya Tuan Sorimangaraja yang tidak pernah bisa berdiam diri, diapun meninggalkan perkampungan mereka, berkelana entah kemana.

Anak Tuan Sorimangaraja, si Ambaton dan si Suanon tumbuh berkembang tanpa pengasuhan ayahnya, demikian juga dengan si Rasaon yang kemudian dilahirkan dari rahim Si Boru Anting Haomasan. Mereka tumbuh jadi pemuda yang mandiri. Karena Tuan Sorimangaraja sangat jarang bertemu dengan mereka, demikian juga dengan orang-orang yang ada di sekeliling tempat mereka tinggal, maka ketika ada yang bertanya siapa pemuda-pemuda yang gagah tersebut, maka yang lain selalu menjawab : anaknya Nai Ambaton untuk si AMBATON, anaknya Nai Suanon untuk si SUANON, anaknya Nai Rasaon untuk si RASAON.
Bermula dari panggilan-panggilan tersebut, akhirnya orang lain lebih mengenal mereka dan keturunannya kemudian dengan sebutan NAIAMBATON, NAIRASAON dan NAISUANON. Keturunan mereka menjadi kelompok marga-marga di kemudian hari. Dengan demikian maka kelompok marga-marga Batak menjadi 5 induk, yaitu :
1. Kelompok LONTUNG, untuk keturunan si Raja Lontung anak Saribu Raja dengan Siboru Pareme;
2. Kelompok BORBOR, untuk keturunan Limbong Mulana, Sagala Raja, Silau Raja ( Malau Raja ) dan si Raja Borbor anak Saribu Raja dengan Nai Mangiring Laut, sekarang ini sering disebut dengan BORBOR MARSADA.
3. Kelompok NAIAMBATON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri pertama SIBORU ANTING MALELA ( SIBORU PAROMAS ), sekarang ini sering disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Naiambaton).
4. Kelompok NAIRASAON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri kedua Si BORU ANTING HAOMASAN, yang adalah adik kandung si Boru Paromas.
5. Kelompok NAISUANON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri ketiga SIBORU SINTA/SANGGUL HAOMASAN.
Dari 5 kelompok marga-marga tersebutlah penyebaran marga-marga yang kita kenal sekarang ini, tetapi dengan pertanyaan : Bagaimana dengan keturunan RAJA ASI-ASI dan SANGKAR SOMALIDANG? Menurut cerita, kedua anak Raja Isumbaon tersebut pergi ke arah Dairi dan ke kaki Gunung Sibayak (Karo), dan dari keturunan merekalah marga-marga yang ada sekarang di daerah itu.
Pada cerita berikut, tidak semua marga-marga akan diterangkan, dan kebenaran dari cerita-cerita itu kembali kepada masing-masing marga, karena pada dasarnya Legenda adalah cerita rekaan (khayalan) yang bisa benar bisa tidak, tetapi paling tidak cerita tersebut pernah beredar di tengah-tengah masyarakat.

Salah satu yang sangat penting menjadi pijakan dalam mengikuti cerita Legenda adalah : TIDAK LEBIH DAHULU APRIORI/KONTRA apabila cerita tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita tau atau pernah kita dengar. Penolakan terhadap legenda akan membuat kita tidak akan dapat mendalami dan memahami nilai-nilai yang tersembunyi pada cerita tersebut.

Perlu juga disepakati, bahwa penulisan cerita/legenda ini bukan untuk mengurangi keimanan seseorang dan bukan pula mengajak pembaca untuk kembali ke “hasipelebegu on “ karena nilai-nilai pada cerita/legenda Batak adalah filsafat, berbeda dengan nilai-nilai religi.

KELOMPOK MARGA KETURUNAN SI RAJA LONTUNG.

Konon, si Raja Lontung sepeninggal ayahandanya berpetualang, hidup berdua dengan ibunya Siboru Pareme ditengah hutan. Ketika sudah makin dewasa, Siboru Pareme menuruh anaknya untuk berumah tangga dan pergi ke rumah tulangnya ke Sianjur Mula-Mula, dia berpesan agar mencari paribannya untuk dijadikan isteri yang wajah mirip dengan wajah ibunya.

Si Raja Lontung pun mengerti pesan ibunya, diapun berangkat menuju Sianjur Mula-Mula sebagaimana dipesankan karena disanalah tempat tinggal tulangnya. Namun di tengah jalan dia bertemu dengan seorang wanita yang benar-benar pinang dibelah dua dengan ibunya Siboru Pareme. Dia pun berpikir bahwa wanita inilah paribannya yang diceritakan ibunya, maka dengan sangat antusias diapun menyampaikan maksud dan tujuannya (tembak langsung). Si wanita sama sekali tidak memberikan penolakan, karena memang dia adalah Siboru Pareme yang tak lain ibu dari si Raja Lontung. Dia telah merencanakan semua itu, ketika si Raja Lontung pergi seperti yang dia minta untuk menemui tulangnya di Sianjur Mula-Mula, Siboru Pareme mengambil jalan pintas mendahului si Raja Lontung ke suatu tempat yang pasti harus dilalui si Raja Lontung.

Setelah melakukan hubungan terlarang dengan “ito”nya Tuan Saribu Raja, sekarang hubungan terlarang (incest) dilakukan dengan anaknya sendiri (Hampir sama dengan cerita Sangkuriang di daerah Parahyangan).

Raja Lontung mempunyai 7 anak laki-laki dan 2 anak perempuan dari perkawinannya dengan Siboru Pareme yang kemuadian menjadi marga sampai sekarang, yaitu :

1.Toga Sinaga
2.Toga Situmorang
3.Toga Pandiangan
4.Toga Nainggolan
5.Toga Simatupang
6.Toga Aritonang
7.Toga Siregar

Sedangkan ke 2 putrinya Si Boru Anak Pandan kawin dengan Sihombing dan Siboru Panggabean kawin dengan Simamora, keduanya adalah anak Toga Sumba ( cucu dari Tuan Sorbadibanua/si Suanon).

Sampai sekarang masih ada perbedaan pendapat tentang anak tertua si Raja Lontung, apakah Toga Sinaga atau Toga Situmorang. Sebagian orang mengatakan bahwa Toga Sinagalah yang tertua, tetapi Toga Situmorang lebih duluan kawin dengan boru Limbong, sedangkan Toga Sinaga belum juga. Karena belum mendapat wanita untuk isterinya, Sinaga berkata kepada Situmorang supaya dicomblangi (dipadomu-domu) dengan adik isterinya. Situmorang berkata, bisa saja asal kau memanggil abang kepada saya, Sinaga pun setuju. Jadilah Sinaga kawin dengan adik isteri (adik ipar) Situmorang, dan oleh karena itulah antara Sinaga dan Situmorang saling memanggil abang pada acara-acara tertentu. Sinaga menjadi abang dari Situmorang karena lebih duluan lahir (anak tertua) dari si Raja Lontung, lazim juga disebut sebagai “ haha partubu”, sedangkan Situmorang menjadi abang karena isteri Sinaga adalah adik dari isterinya, lazim juga disebut sebagai “ haha ni harajaon” karena menjadi si abangan pada acara adat “hula-hula mereka marga Limbong”.

Seperti sudah pernah disebutkan sebelumnya, marga pertama dalam masyarakat Batak adalah Limbong dan Sagala. Kalau dalam penyusunan Tarombo/Silsilah si Raja Batak ditempatkan pada generasi Pertama (I ), maka marga Limbong dan Sagala ada pada generasi III dan Malau (anak Silau Raja ) pada generasi ke IV. Tuan Saribu Raja adalah abang dari Limbong dan Sagala sama-sama generasi III, maka si Raja Lontung adalah generasi ke IV.

Anak–anak si Raja Lontung yang sudah menjadi marga sampai saat ini adalah generasi V. Dengan demikian marga-marga pada kelompok marga Ilontungan dimulai pada generasi ke V.

KELOMPOK MARGA KETURUNAN SI RAJA BORBOR.

Si Raja Borbor sama halnya dengan si Raja Lontung adalah generasi ke IV. Si Raja Borbor kawin dengan putri Jau. Putri Jau yang dimaksud disini bukanlah si Jau yang menjadi pewaris marga-marga di Nias, tetapi karena tidak diketahui darimana asal usulnya. (sekali lagi membuktikan bahwa pada saat itu sudah ada manusia lain selain keturunan si Raja Batak ).

Banyak versi yang menjelaskan keturunan si Raja Borbor, tetapi dalam konteks ini tidak akan dibahas perbedaan-perbedaan tersebut, karena pada dasarnya perbedaan-perbedaan itu telah menjadikan keturunan si Raja Borbor makin kuat ikatan persaudaraannya dalam IKATAN BORBOR MARSADA.

Anak dari si Raja Borbor sebagaimana yang diakui dalam Ikatan Borbor Marsada (masuk pada generasi ke V) adalah :

1. Raja Hatorusan
2. Tuan Sidamanik
3. Datu Singar Harahap
4. Parapat
5. Matondang
6. Sipahutar
7. Sitarihoran
8. Gurning
9. Rambe
10. Saruksuk
Kendati pada generasi ke V sudah menjadi Marga yang ada sekarang, tetapi ada juga marga pada saat itu menurunkan marga yang lebih muda pada generasi VI, VII dan seterusnya sampai generasi XIV, contohnya marga HUTASUHUT yang merupakan keturunan dari marga HARAHAP adalah generasi XIV dari si Raja Batak.

Sampai dengan saat ini, marga-marga yang tergabung dalam Ikatan Borbor Marsada tetap terjalin persaudaraan yang erat, baik di bonapasogit maupun di parserahan, mereka menganut istilah “sijolojolo tubu” yaitu : si sada lulu anak si sada lulu boru.

Ke dalam kelompok Ikatan Borbor Marsada ini termasuk juga keturunan dari LIMBONG MULANA, SAGALA RAJA, SILAU RAJA (MALAU RAJA ).

KELOMPOK MARGA KETURUNAN NAI AMBATON.

Sumber marga-marga yang tergabung dalam Nai Ambaton (Parna) ada beberapa versi, ada yang mengatakan bahwa anak Nai Ambaton yaitu Tuan Sorbadijulu mempunyai hanya dua anak yaitu Raja Sitempang dan Raja Nabolon (hanya versi Sitanggang), ada pula yang mengatakan bahwa anak Tuan Sorba Dijulu mempunyai 5 orang anak 1 perempuan, dan ada pula yang mengatakan 4 anak laki-laki dan 1 perempuan.

Versi yang mengatakan 5 orang menggabungkan Sinahampang sebagai anak langsung dari Tuan Sorbadijulu, sedangkan versi lain mengatakan, Sinahampang adalah anak dari Simbolon Tua. Namun hingga saat ini Nahampun masuk dalam bagian Punguan Simbolon Boru/bere Se-Indonesia dan beberapa diantaranya menjadi pengurus PSBI wilayah, tetapi penulis disini mengetengahkan versi yang mengatakan bahwa anak Tuan Sorbadijulu adalah 4 dan 1 perempuan.

Pada kelompok marga Parna, pemakaian marga yang ada sekarang ini dimulai dari generasi ke V dari si Raja Batak, yaitu marga Simbolon, Tamba, Saragi dan Munte. Dan satu borun Tuan Sorba Dijulu adalah PINTA HAOMASAN yang dinikahi oleh RAJA SILAHI SABUNGAN dan memiliki anak bernama SILALAHI RAJA.

Dari ke 4 marga di atas melahirkan marga-marga baru hingga sekarang ini, yang merupakan marga paling banyak dalam satu kelompok marga dan masih teguh menganut paham “sisada lulu anak sisada lulu boru”, artinya belum ada sesama marga dalam kelompok marga Parna yang sudah saling mengawini.

Dari keturunan Simbolon Tua yang sudah menjadi marga ( Simbolon ) lahir marga-marga baru yaitu : Tinambunan, Tumanggor, Turuten, Pinayungan, dan Nahampun. Dan marga turunan dari Tumanggor adalah marga Pasi.

Dari keturunan Tamba Tua yang sudah menjadi marga (Tamba) lahir marga-marga baru setelah merantau yaitu: Siallagan, Turnip, Rumahorbo, Napitu, Sitio, Sidauruk. Khusus Rumahorbo, Napitu, Sitio disebut RONATIO sedangkan padan antara Sidauruk-Turnip-Sitio disebut RAJA SITOLU TALI. Dari salah seorang keturunan Tamba Tua dari cicitnya Datu Parngongo adalah Guru Sohalaosan/Guru Sojoloan atau juga sering disebut Guru Sitindion, dari sini melahirkan marga-marga baru yang sekarang ini lebih sering disebut Siopat Ama, yaitu marga : Sidabutar, Sijabat, Siadari dan Sidabalok. Namun dalam keturunan Tamba Tua ada marga yang kembali menurunkan marga-marga mandiri dari Sijabat, contohnya Gusar yang memakai marga Sitanggang karena padan dengan Sitanggang Bau namun ada yang tetap memakai marga asal leluhurnya Sijabat, keturunan Sijabat di Simalungun ada yang berafiliasi menjadi marga Saragi Dajawak/Saragi Djawak sedangkan Sijabat di Tanah Karo berafiliasi menjadi marga Ginting Jawak. Menurut informasi marga Siambaton pun merupakan keturunan dari Tamba Tua, namun masih dibutuhkan informasi yang lebih karena menurut Munthe Tua Siambaton adalah keturunan dari mereka yang tinggal di tanah Tamba, namun bila dilihat dari leluhurnya Parsanti Ulubalang, Siambaton adalah keturunan dari Munthe Tua.

Dari keturunan Saragi Tua yang sudah menjadi marga (Saragi) lahir marga-marga baru yaitu : Simalango, Saing, Simarmata, Nadeak, Sidabungke juga marga-marga yang ada di Dairi/Pakpak dan Karo seperti : Basirun, Bolahan, Akarbejadi, Kaban, Jurung dan Telun. Namun untuk marga Sidabungke merupakan keturunandari Parna Saragi Tua namun saat ini sudah menjadi marga mandiri karena dalam sejarah dikatakan Sidabungke menikahi itonya, dan hingga saat ini banyak marga Parna menikahi boru Sidabungke begitu juga dengan Sidabungke yang menikahi boru Parna.

Dari Saragi Tua ini juga yang menjadi marga-marga klan Parna yang ada di Simalungun seperti Saragih Sumbayak, Saragih Dasalak. Kesemuanya itu, tempat leluhir mereka adalah dari Toba (Samosir). Percabangan-percabangan marga ini berkembang juga sampai ke tanah Karo.

Dari keturunan Munthe Tua yang sudah menjadi marga (Munthe) lahir pula marga-marga baru yaitu : Sitanggang, Sigalingging, Manihuruk. Tetapi ada pula dari keturunan Munthe Tua yang lain melahirkan marga-marga baru yang ada di Simalungun, Karo, Dairi/Phakphak, seperti Saragih garingging, Ginting Munthe, Dalimunthe, Tendang, Banuarea, Beringin, Gajah, Manik Kecupak, Berampu, Boang Manalu, Bancin dan Berasa.

Sampai saat ini, apabila orang berkenalan dan sama-sama merupakan keturunan dari Nai Ambaton (Parna), mereka akan merasa seperti saudara sendiri, dan tetap menganut paham Batak “ Sisada lulu anak sisada lulu boru”.

Dari sekian banyak jumlah marga Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Dairi/Phakphak), boleh dikatakan 20% masuk dalam klan NaiAmbaton (Parna). Pernah dulu ada anekdot kalau ada laki-laki dan perempuan yang sudah tua dan belum kawin disebut….. “sai songon Nai Ambaton “, artinya saking banyaknya marga-marga yang tidak boleh saling kawin yang masuk dalam kelompok Nai Ambaton, para anak – borunya sulit mendapat jodoh, sampai tua belum kawin sehingga yang lambat kawin diibaratkan dengan Nai Ambaton.

Kalau kita amati dalam tarombo-tarombo Batak, maka permulaan marga yang tergabung dalam kelompok Nai Ambaton (Parna) dimulai pada generasi ke V hingga generasi ke XII dari si Raja Batak. Jadi masih ada yang termasuk marga-marga muda.

Banyak legenda dan cerita yang terjadi pada sejarah Parna sampai sekarang, antara lain Legenda Tabu-tabu Gumbang, siboru Sileang Nagarusta, Datu Parngongo, Marhati Ulubalang (anak siampudan Datu Parngongo), Makam Op. Soributtu Sidabutar yang terkenal sampai sekarang di Tomok, maupun Sibatu Gantung di Sibaganding Parapat.

KELOMPOK MARGA KETURUNAN NAI SUANON.

Nai Suanon semasa gadisnya bernama Siboru Sanggul Haomasan, adalah istri ketiga Tuan Sorimangaraja yang melahirkan si Suanon. Setelah dewasa, si Suanon digelari Tuan Sorbadibanua.

Sama halnya dengan Siboru Anting Haomasan istri kedua Tuan Sorimangaraja, Siboru Sanggul Haomasan juga sulit mendapat keturunan. Disuatu waktu, Siboru Sanggul Haomasan berjalan-jalan ditepi hutan, bertemu dengan seorang wanita tua yang tidak tau darimana datangnya. Ketika si wanita tua bertanya kepada Siboru Sanggul Haomasan, dia tidak bisa menjawab dengan tepat pertanyaan itu, lalu kata si wanita tua : “ Tardok do ho boru ni raja namalo jala na bisuk, alai tung sungkun-sungkun hi dang taralusi ho onpe ingkon bernitdo parniahapanmu paima-ima tunas ni siubeonmu”. ( Kau termasuk putri raja yang pintar dan bijaksana, tetapi pertanyaanku tak dapat kau jawab, jadi ingatlah akan susah engkau mendapatkan keturunan.)

Setelah berbagai usaha, martonggo (berdoa) kepada Mulajadi Nabolon, akhirnya datanglah pesan kepada Tuan Sorimangaraja bahwa dia akan memperoleh keturunan dari Siboru Sanggul Haomasan apabila dapat menemukan semua persyaratan yang disampaikan Mulajadi Nabolon melalui Borusibasopaet, adapaun syarat yang harus ditemukan Tuan Sorimangaraja adalah :

1. Sebatang kayu besar yang dapat mendirikan sebuah rumah, kayu itu ditemukan di Daerah Angkola (Tapanuli Selatan sekarang ).
2. Hati besi untuk ditempa jadi pisau sakti, dapat ditemukan di sungai Buarbuar dekat Barus ( Tapanuli Tengah sekarang).
3. Kerbau sitikko (melingkar) tanduk, si opat pusoran, sijambe ihur sebagai persembahan kepada Mulajadi Nabolon.

Setelah terpenuhi, diadakanlah upacara martonggo, diiringi bunyi Gondang Sabangunan. Tuan Sorimangaraja dan istrinya Siboru Sanggul Haomasan didaulat untuk menari. Persembahan dan doa Tuan Sorimangaraja diterima Mulajadi Nabolon. Tiba waktunya, istrinya Siboru Sanggul Haomasan melahirkan seorang anak yang dinamai si Suanon ( Tuan Sorbadibanua).

Tuan Sorbadibanua setelah kawin mendiami (tinggal ) di Lumban Gorat (dekat daerah Balige sekarang ), sedangkan saudaranya yang lain yaitu Tuan Sorbadijulu tinggal di Pangururan (Samosir) dan Tuan Sorbadijae tinggal di Sibisa (Uluan).

Si Suanon atau Tuan Sorbadibanua kawin dengan Nai Anting Malela tetapi lama tidak punya anak. Menurut “datu” dia akan beroleh anak apabila, Nai Anting Malela akan memperoleh keturunan apabila “marimbang matua” ( bermadu ). Mendengar itu, suka tidak suka Nai Anting Malela mengijinkan Tuan Sorbadibanua untuk kawin lagi. Masalahnya, perempuan yang akan dinikahi yang sulit di dapat. Saking gusarnya, Tuan Sorbadibanua meminta ijin untuk berburu di hutan untuk melupakan segala “parsorion” yang dialaminya. Dalam perburuannya, tak satupun binatang buruan yang didapat, akhirnya dia tertidur di bawah sebatang pohon besar. Dalam tidurnya, diantara sadar dan mimpi dia didatangi sesosok wanita cantik namun ketika tersadar, tak ada bekasnya, bayangannyapun tidak, namun lapat-lapat terdengar olenya suara yang berkata : Percikkanlah ramuan obat yang kamu bawa ke kiri dan ke kanan masing-masing sebanyak 7 kali lalu melangkahlah engkau kea rah kanan. Tuan Sorbadibanua menuruti perintah suara tersebut, entah darimana datangnya tiba-tiba terlihat olehnya seorang wanita berparas ayu, merekapun bertegur sapa dan berkenalan, perempuan itu bernama BORU SIBASOPAET. Tuan Sorbadibanua pun membawa perempuan itu ke kampungnya untuk dijadikan madu Nai Anting Malela.

Mengenai istri kedua Tuan Sorbadibanua ini menurut legenda adalah manusia hutan yang tidak punya saudara (mapultak sian batu madabu sian langit ). Dia menerima pinangan Tuan Sorbadibanua dengan syarat jagan sekali-kali menyebut dia putri dari hutan belantara yang tidak punya “hula-hula” yang tidak punya saudara. Syarat tersebut disetujui Tuan Sorbadibanua.

Legenda lain mengatakan, Boru Basopaet adalah manusia biasa yang tersesat di hutan ketika terpisah dari rombongannya. Mereka berasal dari tanah Jau ( Jawa ) bersama rombongan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya datang ke pinggiran danau Toba di dekat Balige sekarang, Boru Basopaet sendiri adalah adik perempuan Raden Wijaya.

Kedatangan pasukan Majapahit ke Pulau Morsa ( Andalas/Sumatera ) adalah dalam rangka memperluas wilayah kerajaan. Mereka sampai di tepian danau Toba setelah menaklukkan kerajaan Sriwijaya di Palembang, kerajaan Batanghari di Jambi sekarang, Kerajaan Portibi dan Muara Takus di perbatasan Tapanuli Selatan, Jambi dan Sumatera Barat sekarang.

Di daerah yang ditaklukkan tersebut, pasukan Majapahit mendirikan candi sebagai pertanda mereka pernah menguasai wilayah itu, antara lain Candi Portibi dan Candi Muara Takus. Sampai sekarang kedua candi tersebut masih ada walau kurang terawat.

Setelah perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Boru Basopaet, mereka mencari-cari rombongan dari Kerajaan Mojopahit, merekapun bertemu. Mengetahui adeknya telah kawin dengan Tuan Sorbadibanua, Raden Wijayapun menjalin hubungan persaudaraan dengan Tuan Sorbadibanua. Mereka menjadi teman akrab.

Pada setiap wilayah yang ditaklukkan oleh pasukan Mojopahit, mereka membawa para pemuda yang ada, dipilih yang gagah berani dan dijadikan pasukan kerajaan.

Pada suatu kesempatan, Raden Wijaya berbincang-bincang dengan “laenya” Tuan Sorbadibanua, dia berkeinginan mencari pemuda gagah berani untuk dijadikan prajurit perwira. Tuan Sorbadibanua mengajukan salah seorang ponakannya ( berenya) yang bernama si GAJA untuk dilatih menjadi prajurit. Dia seorang yang tampan gagah, tubuhnya besar tapi sangat nakal, ada-ada saja ulahnya yang membuat orang lain selalu menghindar kalau bertemu dengannya, tak ada yang berani melawan karena disamping tubuhnya yang besar dia juga memiliki kesaktian. Ketika ditawarkan kepadanya, dengan sangat sukacita dia menerima, maka berangkatlah dia bersama pasukan Majapahit yang pulang ke Jayadwipa.

Di kerajaan Majapahit, si Gaja dapat menempatkan diri, dia berlatih dengan tekut dan bersemangat. Karena dasarnya dia sudah memiliki kesaktian, maka “Diklat” prajurit yang diikutinya berjalan lancer, malah dikesempatan-kesempatan tertentu dialah yang menjadi pelatih para prajurit yang lain.

Si Gaja menjadi prajurit yang disegani ditengah-tengah pasukan kerajaan. Bersama si Gaja banyak juga pemuda-pemuda gagah dari Pulau Morsa (Sumatera) yang dibawa Raden Wijaya untuk dijadikan prajurit kerajaan, karena sudah kenal sejak semula dengan si Gaja, mereka sering latihan bersama, berperang bersama.

Sudah disebutkan di atas, si Gaja ini orang yang suka usil dan nakal, kendati sudah berada di kerajaan Majapahit keusilan dia tidak berkurang, malah dengan tambahan ilmu yang didapatnya bertambah juga kenakalan-kenakalannya, namun sering juga dia lebih duluan bertanya kepada teman-temannya yang berasal dari Sumatra apa yang akan mereka lakukan. Teman-temannya berkata : GAJAIMADA ISI. Artinya: perbuatlah sesukamu disitu. Orang-orang atau prajurit yang berasal dari wilayah lain yang mendengar pembicaraan mereka berpikir bahwa sebutan itu ditujukan sebagai panggilan kepada si Gaja yang mereka kenal gagah berani sehingga berkesimpulan bahwa nama prajurit perwira ini adalah : GAJAMADA.

Sejak itu Gajamada itu menjadi panggilan resminya.

Ada juga cerita lain yang menyebutkan bahwa si Gaja kawin dengan gadis dari Pulau Dewata ketika pasukan Majapahit menaklukkan salah satu kerajaan di pulau itu. Perempuan itu bernama si MADE, dan dari perkawinan mereka memperoleh anak yang biberi nama GAJAMADE, yaitu perpaduan antara nama si Gaja dan si Made karena mereka berasal dari pulau yang berbeda, dan lama kelamaan GAJAMADE berubah panggilan menjadi GAJAMADA.

Manapun yang benar dari legenda tersebut tetapi tetap mengaikan bahwa Gajamada masih mempunyai darah Batak. (Kata Legenda dan cerita).

Anting Malela akhirnya hidup bermadu dengan Boru Sibasopaet, hanya dengan demikian impian hatinya memperoleh keturunan dapat tercapai sebagimana petunjuk Mulajadi Nabolon.

Dari perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Anting Malela lahir 5 orang anak mereka yaitu :
1. Sibagot Nipohan,
2. Sipaettua,
3. Silahisabungan,
4. Siraja Oloan,
5. Siraja Hutalima.

Perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Boru Sibasopaet juga melahirkan anak, tetapi lahirnya anak tersebut ditandai dengan hal-hal yang tidak logika.

Pertama keluar dari rahim Boru Sibasopaet segumpal daging, tidak ada bentuk, si Boru Basopaet sangat sedih dan menangis karena yang dilahirkan bukan bentuk manusia, disamping itu akan timbul perasaan malu apabila orang lain mengetahuinya. Untuk menutupi kejadian tersebut dia menyembunyikan gumpalan daging tadi di tumpukan sekam padi (sobuon). Demikianlah, si Boru Sibasopaet berlaku biasa sekan tidak terjadi apa-apa, tetapi hatinya luluh lantak bila teringat kejadian yang menimpanya. Dalam kesedihannya dia selalu mengasingkan diri di tepi hutan dan menangis disana. Suatu ketika, terdengar olehnya suara disela-sela suara suitan burung elang yang terbang melayang-layang di atas kampong mereka. Dengan kesaktiannya, hanya si Boru Sibasopaet yang dapat mengerti suara tersebut. Suara tersebut berkata bahwa pada waktunya gumpalan daging yang dia sembunyikan akan pecah, dari dalamnya akan keluar bayi mungil dan agar dinamai sesuai dengan tempat dia disembunyikan.

Benarlah kata suara tersebut, gumpalan daging itupun pecah dan dari dalamnya keluarlah seorang bayi mungil berparas tampan, tangisannya membahana memenuhi rumah mereka. Sesuai pesan yang didengar dan disampaikan kepadanya, si Boru Sibasopaet memberi nama kepada orok tersebut seperti nama tempat di disembunyikan yaitu : SOBU, karena dia disembunyikan di tumpukan SOBUON.

Kelahiran kedua juga demikian, hanya berupa gumpalan daging yang tidak berbentuk. Si Boru Sibasopaet menyembunyikan gumpalan daging itu diantara tumpukan kayu bakar ( soban, sumban ). Setelah gumpalan daging tadi pecah keluar pula bayi mungil yang kemudian diberi nama sesuai tempatnya disembunyikan : SUMBA, karena disembunyikan di tumpukan sumban.

Anak ketiga juga demikian halnya, lahir hanya berbentuk gumpalan daging, si Boru Sibasopaet menyembunyilan di salean yang sudah hitam pekat (naipos-iposon), setelah pecah dan keluar bayi mungil kepadanya diberikan nama sesuai tempat dia disembunyikan : NAIPOSPOS.

Dengan demikian maka anak Tuan Sorbadibanua ada 8 orang, lima orang dari isteri pertama Nai Anting Malela dan 3 orang dari Boru Sibasopaet. Anak Tuan Sorbadibanua ini termasuk pada generasi ke V dari si Raja Batak. Pada generasi ini nama anak Tuan Sorbadibanua yang menjadi marga sampai sekarang adalah POHAN dan NAIPOSPOS.

Dari anak-anak Tuan Sorbadibanua terlahir marga-marga yang sangat banyak dan terkenal sampai sekarang, masing-masing dari :

SIBAGOT NIPOHAN : disamping marga POHAN, keturunannya melahirkan marga-marga baru, anak pertama Tuan Sihubil melahirkan marga: TAMPUBOLON. Anak kedua Tuan Somanimbil melahirkan marga : SIAHAAN, SIMANJUNTAK, HUTAGAOL. Anak ketiga Tuan Dibangarna melahirkan marga : PANJAITAN, SILITONGA, SIAGIAN, SIANIPAR. Dan anak keempat Sonak Malela melahirkan marga : SIMAGUNSONG, MARPAUNG, NAPITUPULU dan PARDEDE.

SIPAETTUA : anak Sipaettua ada tiga orang, dari anak pertama PANGULU PONGGOK lahir marga : HUTAHAEAN, ARUAN dan HUTAJULU. Dari anak kedua : PARTANO, lahir marga-marga : SIBARANI, SIBUEA dan SARUMPAET. Dari anak ketiga : PARDUNGDANG lahir marga-marga : PANGARIBUAN dan HUTAPEA.

Sumber : "Naburju" Butar-butar blogs ditambah revisi

Rabu, 27 Juli 2011

LEGENDA SIGALE GALE

SIGALE-GALE
Pertunjukan tarian boneka Sigale-gale sudah sangat langka. Jumlah boneka Sigale-gale pun konon tinggal beberapa saja. Tidak gampang membuatnya. Ada kepercayaan di masyarakat Batak bahwa pembuat boneka Sigale-gale harus menyerahkan jiwanya pada boneka kayu buatannya itu agar si boneka bisa bergerak seperti hidup. Bagaimana pertunjukan mistis ini bisa sampai melekat dalam masyarakat Batak? Untunglah sampai hari ini Sigale-gale belum punah sama sekali. Masih ada beberapa sisa patung yang dipahat puluhan tahun silam. Kita masih bisa menyaksikan sisa-sisa kemunculannya meski sangat jarang. Jika mau menonton langsung pertunjukan tradisional dari Tanah Batak itu, pergilah ke Samosir. Kabarnya ada empat tempat yang dapat mempertontonkannya di sana. Dua di antaranya yang mudah dijangkau adalah tempat wisata Tomok dan Museum Hutabolon Simanindo. Pengunjung dapat memesan langsung pertunjukan Sigale-gale dengan bayaran tertentu. Pengunjung yang ingin menontonnya pun tidak dibatasi dari jumlah dan usia. Terkadang dua tiga orang yang tertarik, seperti turis mancanegara, dapat meminta kepada pengusaha pertunjukan untuk segera memainkannya dengan iringan musikal gondang Batak dan delapan sampai sepuluh penari pengiringnya. Rombongan anak-anak sekolah pun sering berkunjung ke Samosir untuk menyaksikan Sigale-gale dalam durasi tertentu dari pilihan-pilihan repertoar musiknya. Repertoar di dua tempat tersebut dapat membosankan jika melebihi satu jam. Apalagi sekarang musik pengiringnya sudah sering menggunakan rekaman kaset audio (playback). Suasana pertunjukan tarian boneka Sigale-gale memang sangat menarik dan menghibur. Bayangkan, sebuah boneka yang terbuat dari kayu dapat menari seperti manusia. Kelihatannya memang seperti manusia jika semakin diperhatikan. Boneka yang tingginya mencapai satu setengah meter tersebut diberi kostum tradisonal Batak. Bahkan semua gerak-geriknya yang muncul selama pertunjukan menciptakan kesan-kesan dari contoh model manusia. Kepalanya bisa diputar ke samping kanan dan kiri, mata dan lidahnya dapat bergerak, kedua tangan bergerak seperti tangan-tangan manusia yang menari serta dapat menurunkan badannya lebih rendah seperti jongkok waktu menari. Padahal semua gerakan itu hanya di atas peti mati, tempat disimpannya boneka Sigale-gale seusai dipajang atau dimainkan. Kenapa itu bisa terjadi? Tentu dua tiga orang dalangnya ada di belakang dengan menarik jalur-jalur tali secara anatomis. Dalang Legendaris Dulu, Sigale-gale sempat dimainkan hanya oleh satu orang dalang. Dalang terakhir yang terkenal adalah Raja Gayus Rumahorbo dari kampung Garoga, Tomok. Beliau pernah tampil pada festival Sigale-gale di Pematang Siantar (Simalungun) pada tahun 1930-an. Malahan, kabarnya Sigale-gale yang dimainkannya waktu itu adalah hasil buatannya sendiri. Raja Gayus dikenal mampu membuat Sigale-gale mengeluarkan airmata dan punya kemampuan mengusapkan ulos (kain tenunan Batak) yang disandangkan sebelumnya di bahu sang boneka kayu. Airmata yang keluar tentu saja air yang mengalir dari bagian kepala Sigale-gale yang dilubangi. Namun bagaimana teknis mengeluarkannya masih sulit dibayangkan, karena biasanya diisi dengan kain lap basah atau wadah kecil yang muat di bagian yang berlubang itu. Pewaris Raja Gayus Rumahorbo mengatakan, Sigale-gale yang dimainkan pada festival itu kini berada di Belanda. Satu boneka lagi, masih menurut pewarisnya, terdapat di Jakarta. Memang Museum Nasional di bagian khusus kebudayaan Batak pernah diinformasikan menyimpan patung Sigale-gale. Rayani Sriwidodo Lubis melahirkan sebuah buku ceritanya berjudul Sigale-gale (PT Dunia Pustaka Jaya, 1982) diperkirakan mendapat inspirasi setelah melihat patung yang ada di museum itu. Mistik di Balik Pembuatan Sigale-gale Kisah pembuatan patung Sigale-gale masih lestari di kampung Garoga. Kampung ini berjarak sekitar tiga kilometer dari Tomok, dan naik ke arah kiri yang dibentengi pegunungan Samosir. Gunung sekitar itu dikenal dengan nama Naboratan yang dapat berarti “sangat berat”. Ada satu air terjun, yang dalam bahasa setempat disebut dengan nama Sampuran Simangande. Air terjun yang konon menyimpan batu-batuan aneh dan posisi gunung seperti tembok yang sangat tinggi itu sempat menambahi kesan lebih jauh tentang kampung yang dikenal masih menyimpan patung Sigale-gale itu. Ternyata suasana alam yang melatarbelakangi kampung Garoga sama sekali tidak ada kaitannya dengan munculnya patung Sigale-gale. Setidaknya dalam kaitan bahan-bahan seperti kayu dan upacara tertentu untuk patung Sigale-gale. Kampung Garoga juga tak bisa dipastikan sebagai setting cerita Sigale-gale. Kampung ini hanyalah salah satu kampung selain kampung Siallagan atau Ambarita. Malahan informasi tentang sebuah patung Sigale-gale pernah ada dari sekitar Silimbat Porsea. Hari itu, di teras sebuah rumah yang berarsitek modern, kami diperlihatkan pada dua unit Sigale-gale yang sudah berumur 30 dan 70 tahun. Salah seorang keturunan Raja Gayus menyambut kedatangan kami dengan minuman tradisional tuak dan natinombur (ikan panggang dengan racikan sambal khas Batak). Beberapa orang pemusik sudah siap-siap di posisi belakang terletaknya kedua Sigale-gale itu dengan instrumen selengkapnya. Sekitar setengah jam mereka memainkan sejumlah repertoar musik yang konteksnya tidak jauh dari kategori musik ritual Batak. Biasanya ada tujuh macam cara musikal yang dilakukan dalam ritual Batak. Namun selesai pertunjukan, kami lebih terfokus membicarakan seputar Sigale-gale sendiri. Terkait dengan pembuatannya, patung Sigale-gale diliputi oleh cerita yang mistis atau seram. Bila seseorang sudah bersedia membuat patung Sigale-gale, berarti ia sudah pasti menjadi tumbal. Setelah menyelesaikan sebuah patung, si pembuat akan segera meninggal. Mungkin kepercayaan ini pulalah yang membuat patung Sigale-gale menjadi ekslusif dan tidak pernah dibuat banyak-banyak. Berdasarkan kejadian-kejadian itu, proses pembuatan Sigale-gale kemudian dilakukan oleh lebih dari satu orang. Ada yang khusus mengerjakan pembuatan tangan, tungkai kaki, bagian badan, dan kepala. Mungkin secara bersama juga tali-tali dan kerandanya yang berukiran Batak diselesaikan. Jumlah tali-tali pada setiap patung yang dibuat tidak selalu serupa. Pada dua unit Sigale-gale tadi, salah satunya mempunyai tali penarik 17 ruas. Dulu tali-tali tersebut katanya sama sekali tidak ada. Gerakan patung berlangsung hanya dengan kekuatan gaib yang dimiliki dalangnya. Patung yang dihidupkan demi kekuatan gaib dalam tradisi Batak disebut dengan gana-ganaan dan dia dapat menyerupai totem. Seorang pembuat patung Sigale-gale dulunya dikenal dengan sebutan Datu Panggana, karena didorong oleh suatu kekuatan gaib juga. Bahan yang digunakan untuk patung Sigale-gale biasanya dari sejenis pohon bernama ingul dan pohon nangka. Pohon nangka khusus digunakan untuk bagian tangan dan kepala. Sedangkan pohon ingul untuk bagian badan dan kaki. Kayu ini termasuk jenis kayu yang bermutu dan sering digunakan membuat perahu. Tidak ada makna simbolis dengan pilihan atas kedua kayu itu. Pengerjaan satu patung Sigale-gale dapat memakan waktu satu tahun. Asal Mula Sigale-gale Selesai pengerjaan patung Sigale-gale, para pembuat atau pemesannya tidak boleh menempatkan serta menyimpannya di dalam rumah. Ada tempat khusus untuk menyimpan patung Sigale-gale zaman dahulu. Namanya disebut sopo balian, sebuah rumah-rumahan di tengah sawah. Tersebutlah seorang raja yang kaya bernama Tuan Rahat. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Manggale. Anaknya tersebut diharapkan segera mendapat jodoh. Namun setiap perempuan yang disukainya selalu tak mau mendampinginya. Suatu ketika, sang raja turut mengirim anaknya berperang dalam rangka meluaskan wilayah kerajaan. Anak itu ternyata mangkat pula di medan perang. Untuk mengenang anaknya, sang raja memesan sebuah patung dibuatkan mirip sang anak, dan sehidup mungkin. Patung tersebut kemudian dinamainya Sigale-gale. Namun sang raja memesankan agar patung tersebut ditempatkan saja agak jauh dari rumah, yakni di sopo balian. Nanti, pada saat upacara kematiannya, patung itu dapat dijemput untuk menari di samping jenazahnya. Jadi pertunjukan Sigale-gale dulunya diadakan hanya kepada seorang raja yang kehilangan keturunan. Tapi kemudian, kebiasaan raja itu diperluas kepada setiap orang yang tidak punya keturunan. Setiap orang yang sengaja memesankan patung Sigale-gale untuk alasan itu disebut dengan papurpur sapata (menaburkan janji). Ketika kematian sudah tak terelakkan, Sigale-gale dengan tariannya menjadi semacam pengobat impian yang pernah kandas bagi orang-orang yang tidak mempunyai keturunan sampai pada upacara kematiannya. Tapi ada versi lain tentang cerita Sigale-gale. Konon, seorang dukun bernama Datu Partaoar, ingin sekali mempunyai anak laki-laki atau perempuan. Suatu ketika dia menemukan sebuah patung cantik di tengah hutan, persis seperti seorang gadis yang tubuhnya terlilit kain dan beranting-anting. Dia kemudian membawa gadis itu setelah mengubahnya dari patung menjadi manusia. Istrinya yang juga berharap-harap selama ini untuk mempunyai keturunan memberi nama gadis itu dengan nama Nai Manggale. Dia menjadi gadis yang disenangi penduduk karena kelembutannya. Suatu ketika dia harus mendapatkan pendamping hidup. Namun seperti ibunya, ia tidak dapat melahirkan keturunan secara biologis. Dia pun berkata kepada suaminya yang bernama Datu Partiktik agar memesan pematung untuk membuatkan sebuah patung yang bisa menari di samping jenazahnya suatu ketika. Patung tersebut dinamai Sigale-gale. Berdasarkan versi itulah kiranya tarian Sigale-gale pernah ditemukan dengan pasangan laki-laki dan perempuan. Sigale-gale secara etimologis dapat berarti “yang lemah gemulai”. Demikianlah sebenarnya kesan melihat tarian boneka Sigale-gale. Entah mungkin juga mereka kembar. Yang laki-laki namanya si Manggale dan perempuan bernama Nai Manggale.

Selasa, 26 Juli 2011

RIWAYAT SINGKAT PERJUANGAN RAJA SI SINGAMANGARAJA XII

Raja Sisingamaraja XII
Dari catatan Keluarga Sisingamangaraja dalam rangka peringatan 100 tahun perjuangan raja Sisingamangaraja XII

Raja Si Singamangaraja XII lahir di Bakara ditepian Danau Toba sebelah Selatan pada tahun 1848. Saat ini Bakara merupakan suatu kecamatan dalam Kabupaten Humbang Hasundutan. Nama kecilnya adalah Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu. Sebagaimana leluhurnya, gelar Raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun. Ketika Patuan Bosar dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XII pada tahun 1871, waktu itu umurnya baru 22 tahun dalam usia yang masih muda.

Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Si Singamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang terbeang atau ditawan, harus dilepaskan. Sebagaimana dengan Raja Si Singamangaraja I sampai XI, beliau juga merupakan seorang pemimpin yang sangat menentang perbudakan yang memang masih lazim masa itu. Jika beliau pergi ke satu desa (huta), beliau selalu meminta agar penduduk desa tersebut memerdekakan orang yang sedang dipasung karena hutang atau kalah perang, orang-orang yang ditawan yang hendak diperjualbelikan dan diperbudak.

Dia seorang pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat. Perjuangannya untuk memerdekakan ‘manusia bermata hitam’ dari penindasan penjajahan si mata putih (sibontar mata), tidak terbatas pada orang Tapanuli (Batak) saja, tetapi diartikan secara luas dalam rangka nasional. Semua orang yang bermata hitam dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan si mata putih (sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang tidak melakukan penindasan, tanpa membedakan asal-usul. Maka ia pun mengangkat panglimanya yang berasal dari Aceh.
Perjuangan Raja Si Singamangaraja XII melawan Belanda

Dapat dipadamkannya “Perang Paderi” melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.

Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Si Singamangaraja XII yang masih muda. Sebenarnya berita tentang masksud Belanda untuk menguasai seluruh Sumatera ini sudah diperkirakan oleh kerajaan Batak yang masa itu masih dipimpin oleh Raja Si Singamangaraja XI yaitu Ompu Sohahuaon. Sebagai bukti untuk ini, salah satu putrinya diberi nama Nai Barita Hulanda.

Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Si Singamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda. Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings Besluit Tahun 1876″ yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, Raja Si Singamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai menguasai Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain. Raja Si Singamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :

1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.

Terlihat dari peristiwa ini, Raja Si Singamangaraja XII lah yang dengan semangat tinggi, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Raja Si Singamangaraja XII bukan anti agama dan di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dengan suku-suku lainnya.

Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Si Singamangaraja XII.

Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, markas besar Raja Si Singamangaraja XII di Tangga Batu dan Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihambat. Belanda merobah taktik, pada babak berikutnya ia menyerbu ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Raja Si Singamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara. Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Raja Si Singamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.

Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Raja Si Singamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Namun Belanda tetap merasa penguasaan tanah Batak berjalan lamban.Untuk mempercepat rencana kolonialisasi ini, Belanda menambah pasukan besar yang didatangkan dari Batavia (Jakarta sekarang) yang mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan. Raja Si Singamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Pasukan Raja Si Singamangaraja XII juga dikerahkan berupa kekuatan laut dari Danau Toba yang menyertakan pasukan sebanyak 800 orang dengan menggunakan 20 solu bolon. Pertempuran besar pun terjadi.

Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Raja Si Singamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Si Singamangaraja XII. Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Raja Si Singamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Raja Si Singamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.

Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Raja Si Singamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Raja Si Singamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki Si Gurbak Ulu Na Birong. Tetapi pasukan Raja Si Singamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Raja Si Singamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Raja Si Singamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Si Singamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.

Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil menguasai Aceh sehingga pada tahun 1890 pasukan khusus Marsose yang tadinya ditempatkan di Aceh, dikerahkan untuk menyerang Raja Si Singamangaraja XII di daerah Parlilitan. Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Raja Si Singamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi.

Raja Si Singamangaraja XII melanjutkan peperangan secara berpindah-pindah di daerah Parlilitan selama kurang lebih 22 tahun, disetiap persinggahaannya Beliau selalu memberikan pembinaan pertanian, adat istiadat (hukum) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga menimbulkan kesetiaan dan dukungan rakyat untuk berjuang.walaupun banyak di antara penduduk yang mendapat siksaan dan pukulan dengan rotan dan bahkan sampai terbunuh, karena tidak mau bekerja-sama dengan Belanda. Termasuk untuk menunjukkan tempat pasukan dan Raja Si Singamangaraja XII berada.

Pasukan Raja Si Singamangaraja XII di Dairi ini merupakan gabungan dari suku Batak dan suku Aceh. Pasukan ini dipimpin oleh putranya Patuan Nagari. Panglima-panglima dari suku Batak Toba antara lain, Manase Simorangkir dari Silindung, Rior Purba dari Bakara, Aman Tobok Sinaga dari Uruk Sangkalan dan Ama Ransap Tinambunan dari Peabalane. Dari suku Aceh antara lain Teuku Sagala, Teuku Nyak Bantal, Teuku Nyak Ben,Teuku Mat Sabang, Teuku Nyak Umar, Teuku Nyak Imun, Teuku Idris. Sedang dari rakyat Parlilitan antara lain: Pulambak Berutu, Tepi Meha, Cangkan Meha, Pak Botik Meha, Pak Nungkun Tinambunan, Nangkih Tinambunan, Pak Leto Mungkur, Pak Kuso Sihotang, Tarluga Sihombing dan Koras Tamba.

Pasukan Raja Si Singamangaraja XII ini dilatih di suatu gua yang bernama Gua Batu Loting dan Liang Ramba di Simaninggir. Gua ini berupa liang yang terjadi secara alamiah dengan air sungai di bawah tanah. Tinggi gua sekitar 20 meter dan mempunyai cabang-cabang yang bertingkat-tingkat. Sirkulasi udara di dalam gua cukup baik karena terbuka ke tiga arah, dua sebagai akses keluar masuk dan satu menuju ke arah air terjun. Jarak dari pintu masuk ke air terjun didalam gua lebih dari 250 meter. Dengan demikian, di dalam gua ini dimungkinkan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari bagi seluruh pasukan yang dilatih tanpa harus keluar dari gua.

Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan Raja Si Singamangaraja XII sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain. Namun Raja Si Singamangaraja XII menolak tawaran tersebut. Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan.
Setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya diketahui oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah.

Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Raja Si Singamangaraja XII. Pertahanan Raja Si Singamangaraja XII diserang dari tiga jurusan. Tetapi Raja Si Singamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Kaum wanita dan anak-anak diungsikan secara berkelompok-kelompok, namun kemudian mereka tertangkap oleh Belanda.
Tanggal 17 Juni 1907, di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Raja Si Singamangaraja XII oleh pasukan Marsose Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Raja Si Singamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Raja Si Singamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya. Dalam peristiwa ini juga turut gugur banyak pengikut dan beberapa panglimanya termasuk yang berasal dari Aceh, karena mereka juga berprinsip pantang menyerah. Pengikut-pengikutnya yang lain berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Raja Si Singamangaraja XII yang masih hidup dihina dan dinista, dan kemudian ditawan di internering Pearaja Tarutung. Semua mereka merupakan korban perjuangan.

Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Raja Si Singamangaraja XII sendiri. Walaupun Raja Si Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Raja Si Singamangaraja XII sendiri.

Jenazah Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dibawa dan dikuburkan Belanda di tangsi Tarutung. Pada Tahun 1953, Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dimakamkan kembali di Makam Pahlawan Nasional Soposurung Balige yang dibangun oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga. Digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.

Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Si Singamangaraja XII selama selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara. Itulah yang dinamakan “Semangat Juang Raja Si Singamangaraja XII”, yang perlu diwarisi seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda.
Raja Si Singamangaraja XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk kesenangan pribadi. Hal ini menumbuhkan semangat persatuan dan kemerdekaan di hati rakyat.

Sumber: Tanobatak.wordpress.com