S |
istem kekerabatan orang batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut Dalihan Na Tolu (bahasa toba) atau tolu sahundulan (bahasa simalungun).
Dalihan Na Tolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Na Tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:
- Pertama, Somba Marhula-hula/semba/hormat kepada keluarga pihak Istri.
- Kedua, Elek Marboru (sikap membujuk/mengayomi wanita)
- Ketiga, Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga)
Dalihan Na Tolu artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. 3 posisi penting dalam kekerabatan orang batak, yaitu:
1. Hula hula atau tondong, yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di atas", yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut somba somba marhula hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hula-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekanannya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok marga istri opung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hula-hula. Tanpa hula-hula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.
2. Dongan tubu atau sanina, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya "sejajar", yaitu: teman/saudara semarga sehingga disebut manat mardongan tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Manat mardongan tubu/sabutuha, suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati –hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan dll. Inti ajaran Dalihan Na Tolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati(masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong. Dalihan Na Tolu menjadi media yang memuat azas hukum yang objektif.
3. Boru, yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di bawah", yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut elek marboru artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat. Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi hula hula/tondong, ada saatnya menempati posisi dongan tubu/sanina dan ada saatnya menjadi boru.
Dengan Dalihan Na Tolu, adat batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang camat. Itulah realitas kehidupan orang batak yang sesungguhnya.lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan sistem demokrasi orang batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal. Dalihan Na Tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut:
Sumber :
1. Jan. S Aritonang, dkk, Beberapa Pemikiran Menuju Dalihan Natolu, (Jakarta:Dian Utama, 2006).
2. J.C Vergouwen,Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,(Yogyakarta: Lkis, 2004).
3. Batara Sangti,Sejarah Batak,(Balige: Karl Sianipar Company, 1977).
4. H.P. Panggabean,Pembinaan NilaiAdat Budaya Batak Dalihan Natolu,(Jakarta: Dian Utama, 2007).