Pukul 09.00 pertengahan Juli 2005 di Huta Tinggi, Kecamatan Lagu Boti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Ribuan pengikut Parmalim dari berbagai belahan Nusantara berkumpul. Mereka sibuk menyiapkan upacara syukur atas panen tahun ini. Tak ada komando, tetapi semuanya tergerak untuk ikut menyiapkan upacara.
Pagi itu, para pengikut Parmalim kembali menggelar Sipahalima. Upacara yang dilakukan setiap bulan kelima dalam kalender Batak ini dilakukan untuk bersyukur atas panen yang mereka peroleh. Upacara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun dana sosial bersama dengan menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan warga yang membutuhkan. Misalnya, untuk modal anak muda yang baru menikah, tetapi tidak punya uang atau menyantuni warga yang tidak mampu makan.
Setelah makan siang bersama, sekitar pukul 13.00, seluruh peserta kemudian berkumpul di halaman depan bale partonggoan atau balai peribadatan. Raja Marnakkok Naipospos, yang menjadi Raja Ihutan (pemimpin spiritual umat Parmalim saat ini), memimpin keseluruhan upacara.
Selama upacara, para penganut Parmalim mengenakan pakaian adat. Kaum laki-laki yang sudah berkeluarga mengenakan tali-tali (sorban) berwarna putih, sarung, dan jas berselempang ulos. Sementara pria lajang mengenakan sarung dan baju biasa berselempang ulos. Kaum wanita mengenakan sarung bermotif batik, kain kebaya, ulos, dan menggelung rambut ke dalam.
Raja Marnakkok memimpin doa-doa kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan pencipta langit dan bumi), doa untuk Debata Natolu, yaitu Batara Guru, Debata Sori, dan Bala Bulan, serta doa untuk Siboru Deak Parujar, doa untuk Naga Padoha Niaji, doa untuk Saniang Naga, doa untuk Raja Uti, doa untuk Tuhan Simarimbulu Bosi, doa untuk Raja Na Opatpuluh Opat atau semua nabi yang diutus Tuhan kepada bangsa-bangsa melalui agama- agama tertentu, doa untuk Raja Sisingamangaraja, doa untuk Raja Nasiak Bagi yang dianggap sebagai penyamaran atau inkarnasi Raja Sisingamangaraja.
Musik senantiasa mengiringi doa-doa yang dipanjatkan penuh kusuk itu. Bagi masyarakat Batak, musik dipercaya sebagai media untuk menyampaikan doa agar sampai ke alam spiritual.
Upacara berakhir menjelang senja dan sebelum ditutup, seekor sapi jantan berwarna hitam disembelih sebagai kurban. Setelah dimasak, seluruh peserta ritual makan bersama.
Sipahasada
Di samping Sipahalima, ritual tahunan yang rutin dilakukan oleh pengikut Parmalim adalah Sipahasada. Upacara yang dilakukan pada awal upacara Tahun Baru dalam kalender Batak itu dilakukan untuk memperingati kelahiran para pemimpin spiritual mereka.
Dua hari sebelum upacara dilaksanakan, umat Parmalim di berbagai tempat melakukan puasa selama 24 jam. Dan sebagai pembuka dan penutup puasa, mereka melakukan ritual mangan napaet atau memakan makanan yang pahit.
Bahan-bahan makanan dalam ritual mangan napaet terdiri dari daun pepaya muda, cabai, garam, dan nangka muda. Sebelum dimakan, bahan-bahan makanan ini ditumbuk halus. Ritual mangan napaet merupakan simbol untuk mengenang kepahitan dan penderitaan Raja Nasiak Bagi, salah satu pemimpin spiritual Parmalim. Setelah ritual mangan napaet yang dilaksanakan di punguan (komunitas) masing-masing, mereka menuju bale pasogit atau tempat peribadatan bersama di Huta Tinggi.
Sebagaimana Sipahalima, Raja Marnakkok Naipospos juga yang memimpin upacara Sipahasada. Sebelumnya, di dalam bale partonggoan atau tempat peribadatan telah disiapkan pelean (sesajen). Pelean ini berupa daging ayam, kambing putih, ihan (ikan batak), telur, nasi putih, sirih, sayur-mayur, jeruk purut, air suci, dan dupa. Lazimnya dalam tradisi adat Batak kuno, bahan- bahan untuk pelean berasal dari hewan-hewan atau hasil pertanian terpilih. Paling tidak, dalam pelean harus ada urapan, air suci, dan dupa, ujar Monang Naipospos, tokoh Parmalim Huta Tinggi. Setelah diperiksa oleh Raja Ihutan, pelean dibawa ke lantai dua (pamelean) bale partonggoan secara berantai.
Di tempat ini, Raja Ihutan akan memastikan letak dan arah pelean. Pascaritual penyiapan pelean, Raja Ihutan kembali turun ke bawah untuk memimpin doa- doa. Semua peserta ritual kusuk berdoa. Bahkan, sebagian terlihat menitikkan air mata.
Di tengah stigma negatif dan hambatan sosial karena tiadanya pengakuan agama mereka oleh negara, tetap saja mereka berusaha melakukan ritual sesuai dengan keyakinan dengan penuh takzim. Masalah keyakinan memang tak bisa dibelenggu
Sumber : http://rapolo.wordpress.com
belum ada koment
BalasHapus