Gondang  Naposo sering juga disebut Pesta Naposo, namun perbedaannya  tidak  semua pesta naposo selalu diiringi dengan gondang. Ada pesta  naposo  dilakukan saat akan dilakukan perkawinan. Biasanya pesta naposo  seperti  ini dilakukan sehari sebelum acara pesta perkawinan itu.
Gondang   Naposo adalah sarana membina hubungan generasi muda dan pematangan jiwa   kemandirian dan tidak jarang menjadi ajang penemuan jodoh.
Pada   dasarnya acara gondang naposo tidak semata-mata urusan naposo saja.   Dari tradisi lama, acara seperti ini justru diprakarsai oleh orang tua,   dan pembiayaan digalang oleh penduduk sepempat.
Naposo  belum bisa  “pahundul” pargonsi menurut cara taradisi batak. Pargonsi  hanya dapat  “masisisean” dengan pengetua dari “suhut”.
Pargonsi yang diundang itu lebih dulu “masisisean” dengan “hasuhuton” apa gerangan mereka diundang?
Suhut   menjawab ; Bahwa di bulan purnama ini mereka berniat memberikan  peluang  bergembira bagi anak-anak mereka, kiranya mereka semakin  dewasa,  mendapat jodoh yang belum ada jodoh, “manogu na di lambung,  manghilap di  nadao”, merapat ke yang dekat memanggil kepada yang jauh.  Kiranya  generasi ini menjadi kebanggaan bagi orang tua, “panunduti” di  harajaon  “panorusi” di “hagabeon” generasi pemimpin dan pengembangan  (populasi)  klan. Manumpak Mulajadi (Tuhan Yang maha Esa) “dilehon  hahipason dohot  hapantason” diberi kesehatan dan kebijaksanaan yang  utuh.
Gondang  Naposo biasanya dilakukan saat bulan  purnama setelah usai upacara Asean  Taon. Mangase taon biasanya setelah  panen raya. Asean taon merupakan  “hari raya” besar bagi orang Batak  tempo dulu. Di berbagai daerah ada  yang benyebut Pesta Bius, pasahat  Horbo Bius, Patasumangot dll menurut  kebiasaan penyebutannya.
Inilah  acara mamuhai gondang atau  “mambuat tua ni gondang” Pargonsi memainkan  gondang sipitulili tanpa ada  yang menari. Setelah itu para orangtua  bersama naposo “hasuhuton”  menari bersama. Setelah mambuat tua ni  gondang selesai, acara diserahkan  sepenuhnya kepada Naposo. Selama  acara berlangsung. Para orang tua  tetap melakukan pemantauan, agar  tidak melenceng dari aturan etika  kesopanan dan ketertiban.
Minimal  acara gondang naposo  dilaksanakan 2 hari. Hari pertama mambuat tua ni  gondang dimulai sejak  sore hari. Semua naposo “hasuhuton” menari  sepuasnya disini dan kadang  mengajak para orang tua menari bersama.  Disini kesempatan khusus memberi  berkat kepada anak-anak mereka,  bergembira menari dengan tata kesopanan  yang sudah baku. Mereka  dimatangkan “manortor” yang baik, “maminta”  gondang yang runtut.
Hari  kedua adalah ; pagi hari, memeberi  kesempatan kepada naposo “mamuhai”  memulai acara tortor bagi mereka dan  dilanjutkan kepada para undangan  hingga siang dan sore.
Para  undangan umumnya dari  naposo tetangga “huta” dan luat yang lebih jauh.  Luat yang lebih jauh  umumnya yang ada hubungan kekerabatan dengan klan  “hasuhuton” itu.  Misalnya generesi muda dari klan “bona ni ari, boru  natuatua” dan yang  berkaitan dengan persaudaraan klan itu.
Setiap   rombongan undangan memenuhi panggilan “manortor” selalu membawa   persembahan kepada naposo hasuhuton yang disebut “santisanti” berupa   uang yang dimasukkan dalam “tandok” kecil, atau dengan diletakkan diatas   “pinggan” berisi beras. Naposo hasuhuton menyambutnya dengan tarian   hingga lokasi menari. Santisanti diberikan dengan tarian oleh yang   pandai menari, dan pihak naposo hasuhuton juga mempersiapkan sambutan   dengan penari pilihan juga.
Bila naposo dari pihak bona  ni ari  atau “tulang” mempersilahkan para “iboto” mereka menari, bahwa  itu  pertanda kepada naposo “baoa” lakilaki dari hasuhuton untuk  melirik,  mengajak menari. Gaya menari naposo yang kecantol dan mendapat  sambutan  biasanya dilanjutkan dengan tari kedua. Disini langkah  pematangan  pemberian signal apakah saling menyukai. Dari tarian itu  dapat dilihat  yang menerima dan yang menolak. Bila diterima, maka sang  pria  menyematkan daun beringin di kepala “paribannya” itu. Begitu pula   sebaliknya, pihak naposo hasuhuton akan memberikan kesempatan kepada   para “iboto” mereka menari. Ini pemberian kesempatan kepada naposo pria   dari klan “boru natua tua” atau amang boru untuk melampiaskan hasrat   kasihnya kepada paribannya dengan gaya tarian yang memukau dan   menaklukkan.
Bila kasih terjalin, cinta tersambung,  maka pihak  orang tua yang terus mengamati akan mencatatkan dalam agenda  mereka dan  melakukan penelusuran lanjutan. Para orang tua tidak bisa  membiarkan  kisah itu berjalan sendiri dan itu menjadi tanggungjawab  yang harus  diahkiri baik atau buruk.
Peristiwa seperti  ini juga dapat  terjadi pada saat pesat “turun” Sebuah upacara  pemakaman kembali tulang  belulang ke “batu napir” dalam tradisi batak  lama.
Bila  upacara selesai sampai sore hari kedua,  maka kembali kepada orangtua  “hasuhuton” untuk menutup acara. Mereka  adalah “sihorus nagurgur siambai  nalonga” memenuhi yang kurang  memaafkan yang berlebih dari semua acara  yang dilakukan naposo tadi.
Kemampuan  berstruktur, kematangan  jiwa, ekspresi batin, lobby, diplomasi,  kepemimpinan, dan pemupukan  persaudaraan sejati tertempa melalui  gondang naposo yang mengacu kepada  kearifan leluhur. Dan itu sudah  dilakukan sejak lama, konon lama sudah  ditinggalkan.
http://samosir.info
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar