Raja Nai Ambaton memiliki 5 orang putra, yakni Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua dan satu boru Pinta Haomasan. Raja Si Opat Ama merupakan keturunan dari Ompu Raja Tamba Tua Ompu boru Malau Pase. Leluhur Raja Si Opat Ama yang terkenal ialah Datu Parngongo, yang pada zamannya dikenal sebagai seorang datu yang sangat sakti. Datu Parngongo memiliki 7 orang putra, salah satu diantara ialah Guru Sojoloan, atau lebih dikenal dengan nama Guru Sitindion boru Lumban Gaol
.
Dari perkawinannya dengan Boru Lumban Gaol, Guru Sitindion memiliki empat putra, yang dikenal dengan nama-nama Toga Sidabutar, Toga Sijabat, Toga Siadari, dan Toga Sidabalok. Putra pertama, Toga Sidabutar menikah dengan boru Pandiangan, tetapi dia meninggal pada saat boru Pandiangan sedang hamil. Putra Toga Sidabutar yang lahir diberi nama Raja Sidabutar.
Sesuai dengan kebiasaan dahulu, putra kedua Guru Sitindion, yakni Toga Sijabat lalu mengawini janda abangnya boru Pandiangan. Kebiasaan seperti ini disebut denga mangabia.
Toga Sijabat pun meninggal ketika boru Pandiangan sedang hamil. Putra Toga Sijabat yang lahir diberi nama Raja Sijabat. Nasib yang sama dengan kedua abangnya juga dialami Toga Siadari. Dia meninggal dunia saat istri abangnya yang dikawininya sedang hamil. Putra yang lahir dikenal dengan nama Raja Siadari. Tragedi yang sama juga dialami Toga Sidabalok. Putra Guru Sitindion yang paing bungsu ini kembali mengawini istri abangnya boru Pandiangan, putranya yang lahir dikenal dengan nama Raja Sidabalok.
Anak kedua Guru Sitindion Toga Sijabat yang tinggal di Huta Lumban Sijabat – Ambarita – Samosir. Anak dari Toga Sijabat ialah Raja Sijabat, tidak diketahui boru apa yang dinikahi oleh Toga Sijabat ibu dari Raja Sijabat ini. Makam Toga Sijabat pun tidak diketahui, bukan hanya Toga Sijabat, makam leluhur seperti Datu Parngongo, Guru Sitindion dan Toga Sidabutar beserta kedua adiknya Toga Siadari dan Toga Sidabalok belum diketahui dimana makam mereka.
Silsilah Toga Sijabat
- Tuan Sorba Dijulu
- Simbolon Tua
- Tamba Tua
i. Tuan Sitonggor
ii. Tuan Lumban Tonga-tonga
1. Raja Si Ruma Ganjang
a. Guru Satea Bulan
b. Guru Sinanti
c. Datu Parngongo
i. Parjarunjung
ii. Raja Nialapan
iii. Guru Saoan
iv. Guru Sitindion
1. Toga Sidabutar
2. Toga Sijabat
3. Toga Siadari
4. Toga Sidabalok
v. Si Mata Raja
vi. Guru Tinandangan
vii. Marhati Ulubalang
2. Lumban Uruk
iii. Tuan Lumban Toruan
- Saragi Tua
- Munthe Tua
- Nahampun Tua
- Si Boru Pinta Haomasan
1. Toga Sijabat/boru Pandiangan
a. Raja Sijabat
i. Ompu Pansur Nabolon
1. Raja Gusar
2. Raja Panjabat
3. Raja Daboltok
4. Raja Datu Tala
ii. Ompu Homban Nabolon
1. Raja Tuan Diangkat
2. Raja Holbung
3. Raja Manangkuhuk
RIWAYAT HIDUP SINGKAT SI RAJA GUSAR
Si Raja Gusar dan adiknya, Panjabat, di masa kanak-kanaknya tinggal di sebuah desa kecil yang bernama Lumban Sijabat, Ambarita, Pulau Samosir yang merupakan tanah leluhurnya. Ayahnya bernama Ompu Pansur Nabolon dan ibunya Boru Ambarita, yang biasanya juga disebut Tuan Laem. Ompu Pansur Nabolon adalah abang dari Ompu Homban Nabolon. Ayah mereka adalah Raja Sijabat atau cucu dari Toga Sijabat ompu boru Pandiangan dan cicit dari Guru Sojoloan/Guru Sitindion/Guru Sohalaosan boru Lumban Gaol yang merupakan generasi ke-5 Datu Parngongo.
Konon ceritanya di desa kelahiran si Raja Gusar Lumban Sijabat, akan diselenggarakan horja bius, sebuah pesta adat yang terbesar dalam budaya suku Batak. Pesta akbar tersebut dimeriahkan dengan menabuh gondang sabangunan serta pagelaran tortor dan embas. Tujuh ekor kerbau disembelih untuk lauk-pauk para undangan. Dalam perhelatan adat itu, Ompu Pansur Nabolon mendapat tugas sebagai juru bagi jambar, yang dilakukan dari atas sebuah pansa-pansa.
Pada saat itu Boru Ambarita istri Ompu Pansur Nabolon sedang mengidam dan ingin sekali makan jeroan (hati) kerbau. Kemudian, ia menyuruh si Raja Gusar anak sulungnya untuk menemui ayahnya untuk meminta beberapa kerat hati kerbau yang akan dibagikan kepada para kerabat dan tetamu lainnya. Tetapi, apa yang terjadi? Ayahnya tidak mengabulkan permintaan istrinya. Ia malah membentak si Raja Gusar sambil melemparkan seonggok ampas perut kerbau itu ke dalam bakul yang sedang ditadahkannya. Senang benar hati si Raja Gusar karena merasa permintaan ibunya sudah dikabulkan oleh Ayahnya.
Bukan main masygulnya hati Boru Ambarita ketika mengetahui isi bakul yang diberikan si Raja Gusar. Hatinya serasa ditusuk-tusuk sembilu atas perlakuan suami yang dihormatinya itu. Jantung si Raja Gusar juga berdegup kencang. Dia tersentak kaget. “Apa yang harus aku lakukan atas perbuatan Ayahku yang melecehkan ibuku ini?” begitulah kira-kira kegalauan yang menggayuti diri si Raja Gusar.
Konon ceritanya, horja bius itu akan dilaksanakan tujuh hari tujuh malam lamanya. Setiap hari seekor kerbau disembelih untuk lauk para tamu. Setelah kerbau disembelih, biasanya dibiarkan dulu semalaman sebelum dibedah. Katanya, setelah dimasak, dagingnya akan lebih enak dan empuk.
Pada malam berikutnya si Raja Gusar tampak mengendap-endap. Ia mendekati sosok seekor kerbau yang baru disembelih pada siang harinya. Kerbau itu tampak merebah di tengah halaman balairung. Dengan gerakan gesit si Raja Gusar menghunus goloknya, lalu membelek perut kerbau itu. Lalu, ia mengobok-obok ususnya hingga terburai. Pemuda setengah baya itu menyayat beberapa kerat hati hewan itu untuk ibunya yang sedang hamil. Sebagian dari usus besarnya dicampakkannya jauh-jauh. Separuh lagi dicabik-cabik, lalu disangkut-sangkutkannya di depan gerbang desa, termasuk pada pintu ruma bolon para tetua adat. ”Biar tahu rasa!” gerutu si Raja Gusar geram.
Kenekadan si Raja Gusar membuat hati Boru Ambarita mencekam. Ia sangat terperanjat. “Nekad betul si Gusar ini. Bah, ... hukum adat pasti akan menimpa anak sulungku ini. Ia akan dirajam atau dibenamkan hidup-hidup ke dasar danau,” pikirnya. Boru Ambarita bergegas, lalu mengajak kedua anaknya lintun. Malam itu juga mereka meninggalkan Desa Ambarita.
Besok paginya penduduk Desa Ambarita heboh. Para tetua adat, termasuk Ompu Pansur Nabolon, kelimbungan karena kerbau untuk lauk-pauk pada hari itu sudah terburai perutnya. Setelah mengetahui bahwa peristiwa aib itu adalah ulah si Raja Gusar, penduduk desa segera mengejarnya.
Besok paginya penduduk Desa Ambarita heboh. Para tetua adat, termasuk Ompu Pansur Nabolon, kelimbungan karena kerbau untuk lauk-pauk pada hari itu sudah terburai perutnya. Setelah mengetahui bahwa peristiwa aib itu adalah ulah si Raja Gusar, penduduk desa segera mengejarnya.
Alkisah, dalam pelarian si Raja Gusar beserta ibu dan adiknya, mereka tiba di sebuah kampung kecil yang bernama Jagarjagar. Pengejaran terus berlangsung. Si Raja Gusar bersembunyi di bawah rumpun pohon sanggar (pimping), sedangkan ibunya dan Panjabat ngumpet di bawah pohon sanduduk. Tidak berapa lama kemudian, kebetulan ada burung tekukur (anduhur) sedang bertengger di atas sanggar itu. Aneh, ada pula tullik hinggap dan bercengkerama di atas ranting sanduduk tempat persembunyian Boru Ambarita dan Panjabat.
”Tidak mungkin, ... aku tidak yakin ada orang bersembunyi di bawah sanggar dan sanduduk itu,” begitulah sangkaan rombongan pengejar itu.
Berkat kehadiran kedua burung kecil itu, Boru Ambarita dan kedua anaknya terlepas dari malapetaka. Sejak itu, ibunda si Raja Gusar berpesan kepada kedua anaknya agar keturunan mereka kelak tidak boleh menganiaya atau memakan kedua jenis burung itu.
Hari berganti hari, si Raja Gusar beserta ibu dan adiknya melanjutkan pengembaraan mereka. Sungguh perjalanan yang amat melelahkan. Beberapa lembah, ngarai curam, bukit-bukit tandus, dan pinggiran danau telah mereka rambah hingga tiba di Desa Salaon, Negeri Buhit. Di situlah mereka bertemu dan tinggal di ruma bolon Raja Malaupase.
Hari berganti hari, si Raja Gusar beserta ibu dan adiknya melanjutkan pengembaraan mereka. Sungguh perjalanan yang amat melelahkan. Beberapa lembah, ngarai curam, bukit-bukit tandus, dan pinggiran danau telah mereka rambah hingga tiba di Desa Salaon, Negeri Buhit. Di situlah mereka bertemu dan tinggal di ruma bolon Raja Malaupase.
Setelah tiba waktunya, Boru Ambarita melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Sidaboltok. Sebuah nama yang bersejarah karena bayi yang baru lahir itu masih dalam kandungan (boltok) ketika Boru Ambarita bersama kedua anaknya bingkas (keluar) dari tanah leluhurnya.
Tahun berganti tahun, musim berganti musim, si Raja Gusar dikenal sebagai orang yang rajin bekerja dan baik hati. Sebagai titisan darah Datu Parngongo, kakek-moyangnya, ia juga lihai bermain silat dan memainkan ambalang, hasapi, dan seruling. Bukan hanya itu, ia juga terkenal si pengail mujur, yang sering memancing ikan di tepian Danau Toba di sekitar Negeri Buhit dan Batu Gaja. Sebagai anak gaul yang disegani banyak orang, namanya pun tersohor di berbagai desa.
Pada masa itu di Desa Pangururan ada dua kakak beradik keturunan Raja Panungkunan (Sitanggang Bau), yaitu Raja Sitempang II dan Raja Tinita. Semula mereka hidup rukun, tetapi pada suatu hari terjadi perselisihan keluarga antarkedua kakak beradik itu. Akhirnya, Raja Tinita hijrah ke Huta Tinggi, lalu menetap di Negeri Buhit.
Sepeninggal Raja Tinita, ada seorang dari marga lain yang ingin manaban (menguasai) perkampungan Raja Sitempang. Nyali Raja Sitempang II berkerut, apalagi akan menghadapi hulubalang andalan raja itu, yang bertubuh tegap dan garang.
Sebagai sesama keturunan Raja Naiambaton, Raja Sitempang minta tolong kepada si Raja Gusar, yang terkenal fasih bertutur sapa, pemberani, dan punya ilmu hadatuon (tenaga batin). Berkat ketangkasan si Raja Gusar, hulubalang andalan raja yang serakah itu, termasuk para pengiringnya akhirnya bertekuk lutut.
Sebagai tanda ucapan syukur dan balas jasa atas pertolongan si Raja Gusar, Raja Sitempang II menabalkannya sebagai anggota keluarga besar Raja Sitempang II. Ia juga menghibahkan beberapa bidang golat (tanah/lahan) kepada anak sulung Ompu Pansur itu.
"Anggia, ampara sidoli," ujar Raja Sitempang II kepada si Raja Gusar, "Kita sudah menang melawan musuh. Untuk itu, kami ingin memberimu ingot-ingot, tanda kasih, yang perlu kita wariskan, baik kepada keturunanmu maupun kepada anak-cucu kami."
Ketika itulah Raja Sitempang marpadan (berikrar), lalu katanya kepada si Raja Gusar, "Sitanggang Bau ma hami, ba Sitanggang Gusar ma hamu, Anggia! Si sada anak si sada Boru ma hita. Si sada las ni roha nang arsak pe, jala si sada partortoron si sada adat." Pernyataan Raja Sitempang II ini diteguhkan pula dengan poda ni ompu sijolo-jolo tubu (petuah para leluhur):
Togu urat ni bulu Ompu Raja di jolo
Toguan urat ni padang Martungkothon salagundi
Togu ihot ni uhum Napinungka niompunta parjolo
Toguan ihot ni padan Ihuthonon ni parpudi
Boru Ambarita merasa terharu dan bangga atas kebaikan hati Raja Sitempang yang memperlakukan buah hatinya itu sebagai anggota keluarga besar Raja Sitempang. Lalu, ibunda si Raja Gusar berpesan kepada anaknya itu, ”Ingatlah, anakku! Selama engkau bermukim di Desa Pangururan, engkau dan anak keturunanmu adalah Sitanggang Gusar. Akan tetapi, jika sekali waktu engkau pulang ke tanah leluhurmu, ingat bahwa engkau dan anak-cucumu adalah keturunan Ompu Pansur Nabolon. Kakekmu adalah Raja Sijabat.”
Kembali pada kisah perjalanan hidup si Raja Gusar. Dalam pernikahannya dengan Boru Malau, si Raja Gusar dikaruniai tiga orang putra, yaitu Ompu Hutamas, Ompu Dingin/Raja Oloan, dan Raja Mulia. Akan halnya Boru Silalahi, istri kedua Ompu Pansur Nabolon, dikaruniai seorang anak laki-laki yang dinamai Datu Tala. Ompu Homban Nabolon, adik dari Ompu Pansur Nabolon, mempunyai tiga orang anak, yaitu Ompu Tuan Diangkat, Ompu Holbung, dan Ompu Manangkuhuk. Keturunan Ompu Homban inilah yang menempati tanah leluhur Lumban Sijabat di Ambarita. Dalam perjalanan waktu, keenam adik si Raja Gusar itu semuanya menyandang marga Sijabat, yang mengambil nama ompung mereka, Sijabat, yaitu bagian dari Siopat Ama: Toga Sidabutar, Toga Sijabat, Toga Siadari, dan Toga Sidabalok. Namun kenyataannya hingga saat ini Gusar mengenakan marga Sitanggang sebagai marga induknya, namun bila Si Opat Ama dan Toga Sijabat marualon adat, Gusar memiliki posisi di kedua tempat tersebut, di Si Opat Ama sebagai bagian dari Sijabat, di Toga Sijabat sebagai anak biologis Sijabat dan siakkangan bagi pomparan Toga Sijabat. Sampai kapanpun hingga generasi seterusnya leluhur Gusar adalah Toga Sijabat, dengan Sitanggang khususnya Sitanggang Bau itu adalah karena padan Raja Gusar dengan Raja Sitempang II.
Sumber :
1. Buku Besar Si Opat Ama Se-Jabodetabek
2. Sitanggang Gusar, Dj./Ompu Duma, gelar Raja Toba, Tanpa Tahun, “Habibingkas ni si Gusar sian Huta Ambarita”. Sidikalang.
3. Sitanggang Gusar/Ompu Richard. Tanpa Tahun. “Turi-turian ni si Raja Gusar”.
Sitangggang Gusar, J.P./Ompu Baringin (Camat Ambarita). 1963. “Sejarah ni Ompu Gusar Gabe Sitanggang Gusar”. Jakarta.
Sitangggang Gusar, J.P./Ompu Baringin (Camat Ambarita). 1963. “Sejarah ni Ompu Gusar Gabe Sitanggang Gusar”. Jakarta.
4. Sitanggang Gusar, Letkol Pur. P. /Ompu Obel. 1993, “Partuturon ni si Gusar”. Jakarta.
Panitia Penyelenggara Pesta Perayaan Natal Arisan Sidjabat dan Keluarga Besar Sidjabat & Boruna Se-Jabodetabek. 2001. ”Pemaparan Singkat Mengenai Perjalanan Hidup Keluarga Besar Sidjabat dan Boruna”. Dalam Daftar Anggota Keluarga Besar Sidjabat & Boru na Se-Jabodetabek. Jakarta.
Panitia Penyelenggara Pesta Perayaan Natal Arisan Sidjabat dan Keluarga Besar Sidjabat & Boruna Se-Jabodetabek. 2001. ”Pemaparan Singkat Mengenai Perjalanan Hidup Keluarga Besar Sidjabat dan Boruna”. Dalam Daftar Anggota Keluarga Besar Sidjabat & Boru na Se-Jabodetabek. Jakarta.
Kisah dan sejarah Gusar sama persis dengan apa yang pernah dceritakan orang tua saya... terimakasih.
BalasHapusAdongdo Parttangani toga sidjabat on? 😌
BalasHapus